Guru Madrasah merupakan pahlawan yang memberikan kontribusi riil terhadap terwujudnya pendidikan nasional. Dalam UU Sisdiknas BAB II Dasar, Fungsi dan Tujuan pada pasal 3 menyatakan bahwa :“ Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangungjawab”. Perwujudan ” Peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia,” ini tidak terwujud secara serta merta, namun harus melalui proses yang intens untuk membimbing siswa/i nya dalam pembentukan pribadi yang berakhlaq mulia,tentunya pembentukan secara komprehensip ini ada pada lembaga pendidikan islam(Madrasah). Pasalnya, alokasi waktu yang diberikan sekolah yang nota benenya negeri sangat terbatas. Konsekuensinya Madrasah adalah tempat strategis dalam pembentukan akhlaq peserta didik. Namun, ironisnya minat peserta didik terhadap pendidikan islam mengalami degradasi, pasalnya, ijazah yang dikeluarkan dari madrasah tidak memberikan efek yang signifikan, sehingga yang menjadi acuan adalah ijazah negeri yang lebih menjanjikan dan memiliki legalitas formal dari pemerintah.
Dikotomi Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam lambat laun semakin kentara, berbagai regulasi yang digulirkan hanya tinggal wacana, perhatian pemerintah lebih terfokuskan terhadap pendidikan nasional, sedangkan pendidikan islam hanya di anak tiri
Diskursus pendidikan di
Problematika ini perlu adanya suatu kerangka refleksi terhadap pendidikan, apakah pembelajaran di sekolah tentang PAI sudah mencukupi atau malah sebaliknya, realitas hari ini Pendidikan Islam khususnya madrasah semakin tertinggal dan di tinggalkan, pola fikir masyarakat lebih cenderung pragmatis terhadap pendidikan, mereka lebih mementingkan pendidikan yang menjamin anaknya mengakuisi pekerjaan yang layak tanpa memperhatikan sisi lain yang sebenarnya elan vital. Al-hasil, degradasi moralitas terjadi dalam dunia pendidikan kita. Rating kenakalan remaja semakin meningkat, mungkinkah akar yang menjadi kausal semua ini adalah lemahnya minta masyarakat terhadap pendidikan islam? Ataukah Perda tahun 2007 tentang syarat memasuki SLTP/MTs harus melampirkan ijazah Madsarah hanya sebatas wacana belaka???
Sepertinya problematika ini perlu adanya empowerment(penguatan) terhadap Pendidikan Islam khususnya madrasah. Karena madrasah merupakan pengenalan terhadap nilai-nilia moralitas yang lebih komprehensip, manuskrip Perda kabupaten Purwakarta tahun 2007 kiranya perlu diimplementasikan secara kongkrit, sebagai kerangka antisipasi terhadap terjadinya degrasadasi moralitas generasi penerus selanjutnya,konsekuensi logisnya, kesejahteraan guru madrasahpun akan terealisasi, pasal nya, ketika terjadi peningkatan quota siswa madrasah akan memberikan kontribusi yang signifikan, meskipun hari ini kesejahteraan guru madrasah ini cukup memprihatinkan ditengah tuntutan guru honorer,guru honda,guru sukwan,guru bantu menuntut kesejahteraan dan kenikan gaji maupun menuntut diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan guru madrasah hanya meratapi nasib yang dialaminya, sebetunya, salah satu perwujudan dari “9 Langkah Ngawangun Nagri Raharja” adalah merekontruksi pendidikan islam (madrasah) dan menjadikannya sebagai basis terdepan dalam pembentukan moralitas siswa/i di Purwakarta khususnya. Dengan memperhatikan kesejahteraan guru madrasah dan infrastruktur di berbagai madsarah yang ada di Purwakarta. Karena jargon tadi hanya sebatas utopia jika tidak terjadi suatu titik keseimbangan antara pendidikan nasional dan pendidikan Islam.
Wallahu A’lam Bisshawaab…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapushref="http://stempelmerah.blogspot.com/2009/04/dunia-ketiga-harus-bersatu-atau-mati.html">(more)
BalasHapus