Oleh : Yusep Solihudien
Sekarang ini setiap Negara sedang melakukan revolusi pendidikan besar-besaran untuk berlomba-lomba menghasilkan sumber daya-sumber daya manusia unggul dan kompetetitip. Sektor pendidikan telah dijadikan aspek maha penting dan senjata utama untuk menguasai dunia. Pada saat negara-negara lain sedang berlari kencang dan cepat melakukan revolusi pendidikan, negeri kita baru sedang mulai berusaha berjalan dengan tubuh luka, lemas dan tertatih tatih. Segudang kebijakan dan obat telah digelontorkan oleh pemerintah untuk memperbaiki penyakit di dunia pendidikan kita baik menyangkut sarana, pra sarana, kurikulum, evaluasi, media pengajaran, buru, dana oprasional sekolah, siswa, partiasipasi masyarakat maupun guru.
Dari sejuta obat yang diproduksi untuk mengobati sakitnya dunia pendidikan kita, maka ada salah satu obat yang menjadi akar sakitnya dunia pendidikan kita yaitu, kondisi kualitas guru. Banyak gelar yang dialamatkan untuk menunjukan betapa maha pentingnya guru dalam menentukan kualitas pendidikan, seperti, “guru sebagai agen perubahan siswa”, “guru sebagai ujung tombak pendidikan”, dan “guru ujung tombak pencerdasan bangsa”. J Drost (2001) sempat menyatakan bahwa diantara agenda utama perbaikan pendidikan, sangat ditentukan oleh bagaimana cara guru mengajar di depan kelas.
Namun ada beberapa masalah yang dihadapi oleh sebagian besar para guru kita seperti, rendahnya kesejahteraan guru, lemahnya penguasaan materi ajar, tumpulnya metode dan media pengajaran, lemahnya evaluasi pengajaran, lemahnya pemahaman psikologi pendidikan dalam pengajaran, kurangnya etos membaca dan menulis karya para guru, kurangnya reference untuk pengembangan pembelajaran, lemahnya penyusunan administrasi pengajaran serta lemahnya guru dalam penguasaan teknologi informasi pembelajaran. Segudang kompetensi itu sangatlah penting dalam mentransfer ilmu dan nilai-nilai kehidupan bagi kecerdasan dan keshalihan anak-anak didik. Maka itu wajar kalau istilah yang penulis gunakah yaitu “kiamat pendidikan”, karena guru sebagai faktor pembentukan kepintaran dan kecerdasan anak-anak kita memilki segudang masalah. Bahayanya kiamat pendidikan ini akan berujuang pada tidak mampunya siswa menampilkan kecerdasan yang membanggakan serta belum bisa menampilkan perilaku akhlakul karimah. Kalau keadaan anak-anak kita saat ini seperti itu, maka masa depan bangsa kita benar-benar dalam keadaan yang mengarah kepada kehancuran.
Menyadari itu, maka pemerintah mengeluarkan obat untuk memperbaiki lemahnya kompetensi guru dengan terbitnya kebijakan “sertifikasi” bagi seluruh guru. Ditambah lagi dengan semakin dimanjakannya sektor pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah dengan semakin banyaknya anggaran bagi pendidikan. Angin segar nan surgawi sertifikasi guru dan diprioritaskannya pendidikan memunculkan perubahan persefsi tentang status profesi guru yang lebih menjanjikan masa depan. Maka seperti sebuah booming bagi guru dengan serta merta para guru kita harus melakukan loncatan karir keguruan dengan harus mengikuti program sarjana agar bisa mengikuti sertifikasi, dan sebanyak mungkin menumpuk sertifikat kegiatan seminar, diklat, atau work shop.
Namun sayang, “virus” mental menghinggap di sebagian besar jiwa guru kita yaitu “virus instan dan pragmatisme” benar-benar menggerogoti jiwanya. Untuk mengejar gelar sarjana banyak yang mengikuti dan memilih perguruan tinggi yang bermazahab “pragmatisme” , dengan motonya UTS, UAS, skripsi bisa beli dan “gampang serta cepat beres kuliah” dan cepat mendapat ijazah sarjana. Praktik yang secara umum dilakukan oleh “perguruan tinggi kelas jauh” ini laris manis bak jualan kacang goreng, karena menjanjikan sejuta kemudahan agar cepat gelar sarjana. Wajar kalau kemudian, dirjen dikti atau Direktorat Pendidikan Tinggi islam mengeluarkan “larangan keras (haram) kelas jauh” dengan ancaman ijazah Perguruan Tinggi kelas jauh dan tidak terakreditasi tidak bisa mengikuti sertifikasi dan penyesuaian kepangkatan.
Larangan ini berangkat dari banyaknya fenomena praktik “mapia pendidikan” dengan jalur tol cepat tanpa melalui proses akademik yang sesuai dengan aturan. Sangat mengerikan kalau program sarjana bisa selesai dengan hanya satu tahun setengah atau dua tahun. Bahkan yang mengerikan mereka sanggup membeli ijazah dengan sejuta kedok seremonial akademik dan bisnis skripsi atau tesis “. Hasilnya dari sebuah sistem akademik yang bobrok tentu akan menghasilkan sumber daya guru yang bobrok kompetensinya. Belum lagi proses penumpukan sertfikat seminar atau kegiatan bisa juga melalui jalur “pragmatisme” . Bisa membeli sertfikat seminar atau pelatihan kepada panitia, sementara guru tidak mengikuti kegiatannya. Padahal kegiatannya mungkin baik untuk memberikan penambahan wawasan pendidikan dan pengajaran, hanya sebagian guru enggan mengikutinya dengan alasan cape dan bosan. Yang penting mah dapat sertifikat untuk sertifikasi.
Proses akademik program sarjana dan seminar yang bertujuan untuk menambah kompetensi para guru, akhirnya karena tidak dilakukan sesuai dengan tata aturan Perguruan Tinggi yang benar, maka hanya menghasilkan kompetensi profesi guru yang tetap saja rendah bahkan nyaris tidak ada pengaruhnya pada sikap profesi maupun akhlak. Bisa ditebak, arah kiamat pendidikan dengan ini akan begitu sangat cepat terjadi. Dengan rendahnya kompetensi profesi dalam pendidikan dan pengajaran, maka proses belajar mengajar di kelas tidak akan maksimal. Karena guru rendah dalam penguasaan kurikulum, materi dan metode pembelajaran, maka transfer teori-teori ilmu kepada para siswa tidak akan optimal, sehingga siswa tidak mampu menguasai materi keilmuan. Karena rendahnya penguasaan teori keilmuan para siswa, akhirnya siswa kita rendah dalam kompetensi keilmuannya. Akhirnya, dalam ujian nasional dibentuk tim sukses yang bertugas mendongkrak nilai kelulusan para siswanya. Karena rendah kualitas SDM maka ia sulit bersaing dalam kehidupan dan selalu kalah dalam medan pertempuran sumber daya manusia.
Karena guru rendah dalam proses transfer nilai-nilai kearifan hidup dan ketauladanan akhlak, maka siswa sulit mendapat resapan-resapan nilai yang bertujuan membentuk akhlak karimah. Maka wajar kalau prestasi kebobrokan akhlak para siswa pun sangat hebat misalnya, angka sek bebas dan aborsi pelajar semakin membumbung tinggi, kriminalitas dan tawuran remaja semakin menjadi-jadi, rendahnya etos intelektual, dan konsumsi narkoba remaja membumbung tinggi, serta menyebarnya virus-virus hedonisme dan sekulerisme. Inilah bentuk-bentuk kiamat pendidikan yang sangat dahsyat yang sangat mempengaruhi kualitas pendidikan dan nasib masa depan bangsa. Karena itu penulis menggunakan kata “menanti”, karena sepertinya virus “budaya pragmatisme dan intanisme” semakin menggerogoti dan menjalar ke seluruh aspek profesi guru.
Bahkan virus penyakit itu dipelihara dan dikembangbiakan dengan dikelolalnya praktik perguruan tinggi kelas jauh yang pragmatis dan “mirip mapia pendidikan”, yang jelas sudah dilarang oleh Dirjen pendidikan Tinggi. Yang lebih ironis pengelolaannya dilakukan oleh mengaku para pendidik dan oknum birokrasi pendidikan, serta dijanjikan dan dimimpikan para mahasiswanya untuk bisa diangkat menjadi CPNS. Wajar kalau pendidikan kita terus semakin jatuh pada titik kualitas rendah, karena yang menghancurkan pendidikan adalah para pendidik yang melakukan praktik mapia pendidikan yang konon mencetak calon guru. Kiamat dunia pendidikan semakin cepat terjadi, jika melihat data Balitbang Depdiknas 32 % guru SD, SMP, dan SMU yang layak mengajar. 68% guru tidak layak mengajar. Bahkan menurut Jahya Umar Direktur Pendidikan Islam Depag, sekitar 80 % guru madrasah belum kompeten di bidang yang diajarkan (mismatch).
Disinilah berlaku hukum ekonomi, semakin banyak permintaan “pragmatisme pendidikan”, maka semakin tumbuh subur perguruan tinggi kelas jauh yang mirip “teroris pendidikan” . Sepertinya virus itu sulit dimatikan dengan obat berdosisi tinggi dan keras sekalipun. Mengerikan. Akhirnya, kiamat dunia pendidikan hanya tinggal menanti detik-detik kehancurannya. Selama guru yang mempunyai virus pragmatis dan instan serta perguruan tinggi bergaya “mapia pendidikan” belum “taubatan nasuha” . Akhirnya, masa kini dan mendatang anak-anak bangsa kita semakin dalam jurang kehancuran. Mari kita memperlambat laju kiamat pendidikan dengan cara bertaubat menyadari gelimang lumpur dosa dalam praktik mapia pendidikan, serta bertekad mengikuti aturan tata akademik yang benar. Apalah arti selembar ijazah sarjana dan sertifikat jika itu dibangun dengan tangan-tangan zalim dan kotor. Yakin bahwa ilmu yang didapat tidak akan menjadi hikmah bagi diri sendiri dan anak-anak didik kita. Walaubagaimanapun kita harus berani melaut dengan perahu layar dan dayung apa adanya, sekalipun dengan resiko hancur dan tenggelam. Wallahu ‘alam bisawab.