(Yosep Solihudien)
Ketika seorang murid ditanya, mengapa kamu tertarik dengan pekerjaan ini? Jawabannya hampir dipastikan karena adanya factor guru yang balk, dalam menyampaikan pengajarannya kredibel, variatif, dan tidak monoton. Sebaliknya ada anak yang mengatakan , "Ah, saya malas pelajaran ini karena gurunya tidak ahli, membuat ngantuk, dan sangat galak serta monoton". Betapa posisi guru sangat menentukan dalam mentransfer nilai-nilai moral dan pengetahuan anak. Ibarat sebuah produk maka laku dan tidaknya produk tersebut sangat tergantung strategi pemasaran dan penyajian. Jika strategi pemasarannya menarik, menyentuh, dan cukup menggoda, maka akan banyak yang tertarik dengan produk. Sebaliknya, sebagus apapun sebuah produk kalau strategi pemasaran dan penyajiannya buruk dan tidak menarik, maka tidak akan banyak peminat.
Kurikulum adalah sebuah produk yang didalamnya tersimpan harapan, tujuan, dan cita-cita. Terlepas dari adanya kritik tentang segudang kelemahan kurikulum pendidikan kita. Pencapaian sasaran kurikulum sangat tergantung pada kecerdasan dan kreatifitas guru dalam menentukan strategi pemasaran dan penyajian. Dalam istilah perang sering muncul "man behind the gun". Sehebat apapun sebuah senjata kalau manusia penggunaannya tidak mempunyai mentalitas dan kecakapan berperang tidak akan berguna. Mengapa pasukan Amerika lari pontang panting dari peperangan Vietnam, pasukan Rusia terbirit-birit dihantm oleh kelompok mujahidin Afganistan serta para pahlawan bangsa kita yang mampu memberikan perlawanan sengit pada Belanda. Jawabannya karena tidak mempunyai mentalitas berperang. Guru adalah pasukan yang senjatanya adalah kurikulum, untuk memenangkan pertarungan persaingan SDM bangsa kita dengan bangsa-bangsa lain.
Betapa produk SDM kita sangat memperhatikan ketika bertarung dengan bangsa-bangsa lain.
Laporan World Competetieveness Report (1996), sangat jelas menunjukkan dan membuktikan rendahnya daya saing SDM kits, khususnya di negara-negara ASIA. Dari segi kemampuan menembus pasar internasional, Indonesia berada diurutan ke-37, penguasaan IPTEKke-40, dan persaingan SDM kits berada diurutan terakhir ke-45. pada tingkat intwernasional ilmuan kita terkenal rendah. Menurut Menurut Institut of Science Information di Amerika (1995), Indonesia berada diperingkat 92 dengan nilai 0,012 ini di bawah Srilangka (0,019), Uruguay (0.13), dan lebih jauh lagi dibawah Malaysia (0,64), Nigeria (0,037), dan Thailand memperoleh nilai 0,086. gambaran ini menunjukkan ilmuan kita belum go intemasional. (Republika 22/10/1997). Data ini hasil penelitian badan-badan internasional yang dilakuakan sebelum terjadi badai krisis ekonomi. Setelah krisis ekonomi maka dunia pendididkan pun terkena imbasnya,
dan semakin mempertambah kompleksitas masalah pendidikan kita.
Langsung maupun tidak langsung kegagalan pertarungan SDM kita merupakan cermin dari kegagalan sistem pendidikan suatu bangsa. Tentu tidak adil kalau kemudian kegagalan SDM kits disalahkan total ke lembaga pendidikan formal semata, sebab pembentukan karakter SDM adalah investasi lingkungan keluarga, sosial politik nasional dan internasional serta sekolah. Karena itu, salah satu elemen yang harus diperbaiki adalah lembaga pendidikan formal yang ujung tombaknya adalah sosok dan peran guru. Berbicara kualitas guru sseringkali berhubungan dengan masalah kesejahteraan, sehingga timbul tesis, "jika kesejahteraan guru naik maka kualitas pendidikan pun akan naik". Walaupun tesis ini masih bias diperdebatkan. Angin reformasi telah merubah paradigma penggajihan guru khususnya PNS menjadi lebih baik, sehingga jika tesis itu kita pegang maka sekarang ini tinggal " perubahan paradigma" dari budaya santai, rekayasa nilai, dan malas menjadi budaya
dinamis, variatif, gaul dan professional, karena negara telah membayar gaji dengan lebih baik. Diantara perubahan ini adalah menumbuhkan virus "subversif dalam did guru. Istilah ini mengandung kengerian khususnya di zaman Orde Baru. la bermakna pembebasan dan pencerahan pemikiran dan hati nurani kepada para anak didik. Tulisan ini sedikit memberikan informasi masalah guru "subversiv" ini.
Problematika Guru
Problematika ini Iebih menyangkut pada kualitas penguasaan materi, administrasi dan cara pengajaran serta religiusitas peta problematika ini tidak terlepas dari kebijakan pendidikan nasional khususnya kurikulum dan kepegawaian. Menurut Paolo Freire (1972) dalam bukunya Paedagogy of the Oppressed, salah satu jenis pendidikan ada yang disebut dengan pendidikan "gaya bank" dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegaiatan murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan. Gaya pendidikan ini Iebih sesuai dengan kurikulum yang padat. Nampaknya Indonesia termasuk pendidikan kurikulumnya sangat padat. Sehingga celah guru untuk melakukan improvisasi pengajaran sangat takut akan tidak terkejarnya materi kurikulum.
Proses pendidikan gaya ini hanya menjadikan anak didik adalah celengan dan para guru adalah penabungnya. Lebih lanjut menurut Paolo Freire yang terjadi bukanlah proses komunikasi, melainkan guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Di dalam pendidikan "gaya bank" anak didik yang balk adalah murid yang bisa mengulang kembali apa yang disampaikan guru, bukan murid yang mengerti apa yang disampaikan guru. Gejala pengajaran gaya bank ini hampir terjadi disebagian besar pendidikan kita. Entah karena keterbatasan wawasan metode pengajaran, kepadatan kurikulum ataupun kemalasan.
Problematika lain yaitu, pemenuhan perangkat administrasi pengajaran. Secara teoritik, akademik dan aturan profesi guru haruslah membuat persiapan harian. Namun dalam kenyataan, sangat jarang guru membuat administrasi persiapan harian. la berdalih, bahwa yang penting itu mengajar yang baik. Padahal untuk mengukur kinerja haruslah ada bukti fisik yang ada dalam administrasi persiapan harian dan kemampuan administrative ini jugs menjadi variable penilaian pengangkatan. Tidak jarang mengajar Iebih melihat pada bab atau halaman yang ada di buku sumber murid, tidak digandengkan dengan arah dan subtansi kurikulum yang ada di GBPP. Sehingga pencapaian kurikulum dilihat pada sudah sampai atau tidaknya batasan bab yang telah ditetapkan penerbit buku per catur wulan atau semester. Padahal sangat bisa jadi simbolisasi materi pelajaran dalam buku belum menyentuh arah dan subtansi kurikulum.
Hal lain yaitu aspek religiusitas, is Iebih pada sejauh mana memberikan tauladan yang balk dalam keberagaman kepada anak-anak didiknya, tidak hanya sosok "transfer of science". Pandangan citra guru disebagian masyarakat sekarang ini lebih melihat hanya sebagai pengajar saja, bukan pendidik. Banyak kita dengar kasus pelecehan guru kepada murid, selingkuh seorang guru denganguru atau murid, sampai pada perkosaan dan kriminalitas. Atau guru kurang dalam memberikan tauladan keberagamaan lain seperti jarang atau tidak sholat, berakhlak yang kurang
balk, jual bell nilai dan sebagainya.
Pada zaman orde baru guru sering jadi sapi perahan kaum birokrat, kebanyakan diam seribu bahasa. Dengan keterbukaan di era reformasi guru haruslah menjadi sosok guru yang kritis terhadap kebijakan birokrat yang bertentangan dengan moral dan etika profesi. Sebab kebiasaan kaum birokrat pemerintahan lalu yang cenderung koruftif dan manipulatif mungkin masih dilakukan saat ini. Praktik harus memberikan upeti dan memberikan uang sekian juta untuk meningkatkan pangkat dan kepala sekolah kepada birokrat harus dikikis oleh para guru, kalaupun ada
birokrat yang harus memaksa, guru harus dialog dengan DPRD kita. Sebab dengan pintu ini akan menutup profesionalisme tenagatenaga pendidikan di sekolah dan yang jadi korban adalah anak-anak kita. Terlepas dari itu semua, penulis lebih mengkhususkan diri pada pembahasan gaya pengajaran subversif yang merupakan salah satu bahan pemikiran bagi pencerahan pemikiran guru. Tentu bukan bermaksud menyalahkan metode pendidikan gaya bank tersebut di atas, karena setiap metode mempunyai sisi kelebihan dan kekurangan, serta tergantung mated pelajarannya.
GURU "SUBVERSIF"
Seorang guru yang balk sebagaimana dikemukakan oleh Umar Khayam seyogyanya tak sekedar bertugas mengalihkan informasi
informasi dan hapalan-hapalan dan mengajarkan hapalan-hapalan. Tetapi didalam suasana dimana pendidikan sering berada dibawah dinamika kekuasaan, guru harus berani bertindak dan mengemukakan isu-isu "subversif' dan controversial ketika mengajar di kelas. Dalam arti guru harus berani menampilkan pemikiran-pemikiran alternatif atau counter culture. Guru yang subversif bukan berarti is mengajak murid agar berperilaku memberontak pada pemerintah dan melanggar hokum. Yang ingin ditekankan Umar Kayam dalam proses pendidikan yang seharusnya terjadi bukanlah proses transfer seperangkat doktrin yang kaku dan seslalu menekankan apa yang seharusnya terjadi, melainkan harus bersubstansi pembebasan. (Republika 25/10/94).
Menurut Paolo Freire, pendidikan yang membebaskan dan "subversif' disebut dengan model pendidikan "hadap masalah". Dalam pendidikan ini, peran utama guru adalah melakukan dialog, berjuang bersama-sama dengan anak didik bagi kebangkitan kesadaran dan keterlibatan krisis terhadap realitas. Dengan gaya ini menuntut para guru untuk mendialogkan kurikulum pengajaran dengan perkembangan realitas social, politik, ekonomi, budaya dan masalah lain yang sedang terjadi.
Guru dituntut untuk menjadi "guru gaul" dalam arti mengikuti perkembangan actual bidang studi yang dipegangnya. Ilmu sebagai produk manusia terkena hokum relatif dan pragmatis. Hasil dan nilai teori keilmuan tidak akan gugur jika belum ada penemuan dan teori baru yang
meruntuhkannya. Resikonya sebuah kurikulum haruslah mengikuti atau bahkan merekayasa perkembangan umat manusia. Karena perubahan kurikulum seringkali masih disentral ke pusat, maka ditangan gurulah dalam mengemas dan meramu kurikulum dengan kejadian yang berkembang.
Dalam lapangan ilmu social perubahan itu sangat cepat. Dalam konteks Indonesia perkembangan, peristiwa-peristiwa, dan gejolak social, budaya, politik dan ekonomi dari peralihan orde baru ke era reformasi mengalami perubahan yang radikal dalam kenegaraan dan masyarakat kita. Isu-isu perseteruan antara partai politik, tingkah laku elit politik, kasus politik, pemutar-balikan hokum, otonomi daerah,krisis ekonomi, kerusuhankerusuhan, Hak Asasi Manusia, kerusakan alam, bencana alam, pemerkosaan, perampokan, narkoba, sek bebas, kasus korupsi, dan pembunuhan yang sedang terjadi, bisa menjadi bahan untuk dialog kritis dengan murid, sehingga pengajaran kita kontroversial.
Dalam lapangan ilmu alam banyak penemuan-penemuan baru yang bisa dijadikan bahan untuk pengayaan mated. Mated tersedia di Koran, majalah, tabloid, VCD, dan internet. Masalahnya adalah apakah guru kita mempunyai daya kreativitas tinggi. Jawaban sementara tidak dan sulit, ditengah segudang masalah beban-beban ekonomi yang sangat berat dan kesejehateraan yang sangat terbatas, sangat sulit berharap terwujud guru subversiv. Mudahan-mudahan UU Guru bisa menjadi motivator untuk meningkatkan kompetensi guru yang diiringi dengan pula peningkatan kesejahteraan para guru.
Wallahu ‘alam bissawab.