Oleh : Didih Ahmadiah, S.Q, S.Hi[1]
Diakui atau tidak, kita semua “tadinya” hanyalah Islam turunan. Namun kemudian, setelah kita mampu berfilir kritis dan bisa membedakan yang baik dan yang buruk, kita dituntut bukan hanya menganut Islam karena kita lahir dari orang tua kita yang sudah Islam. Kita dituntut untuk bisa memilah dan memilih mana yang akan kita jadikan pegangan selagi kita hidup di dunia ini.
Manusia terbebani dua keadaan, keadaan dimana ia tidak bisa memilih sama sekali (destiny/takdir), kita lahir di mana, dari siapa, laki- laki atau perempuan, itu semua sudah menjadi kehendak Sang Penguasa Alam, dan keadaan ini tidak akan kita pertanggung jawabkan. Keadaan kedua yakni keadaan dimana kita bisa memilih, kita akan menjalani hidup seperti/sebagai apa? Jalan mana yang akan kita tempuh? Itu semua adalah pilihan, dan keadaan kedua ini akan kita pertanggung jawabkan (mas’uliyah) dihadapan sang pencipta.
Hidup adalah pilihan, dan untuk menghadapi hidup yang penuh pilihan ini gusti Allah Jalla wa’Ala telah memberikan panduan yang Dia titipkan kepada nabi kita Muhammad sang pemilik akhlak paling mulia. Bahkan sebelum nabi kita wafat, beliau menegaskan sekali lagi bahwa kita harus berpegang pada panduan tersebut,ia adalah Al Qur’an.
Al Qur’an sendiri menyatkan bahwa dirinya adalah “hudan/petunjuk”, furqon/pembeda”, dzikru/peringatan”, dan masih ada lagi yang lain. Namun semua itu akan percuma dan sis – sia seandainya tidak kita fahami. Petunjuk tidak akan jadi pengarah kearah kebenaran, pembeda tidak akan menjadi panduan memilih yang terbaik, peringatan juga tidak akan bisa menyadarkan kita yang lalai seandainya hanya ada dalam kamus “ tahu’’ saja. Kita semua tahu al Qur’an, namun hanya sebatas itu.
Al Quran adalah our way of life, semua aturan yang menjadi panduan kita sebagai ummat Islam ada di dalamnya., namun kita hanya tahu al Qur’an, kita tidak kenal, kita tidak menjadikannya teman yang mesra, kita tidak menjadikannya sahabat sejati yang akan membenarkan kita ketika kita salah, yang akan mengingatkan kita ketika kita khilap, yang akan menunjukkan jalan yang benar ketika kita linglung kehilangan arah, yang akan jadi “kompas” ketika kita tersesat.
Kalau memang ini yang terjadi, kita harus tanyakan kembali kepada diri dan hati kita “ benarkah keislaman saya teh?”
Contoh ringan adalah moment Iedul Fitri. Iedul fitri adalah waktu yang tepat untuk kita memperbaiki hubungan kita dengan sesama manusia ( habluminaannas ) setelah kita selama sebulan ramadhan penuh memperbaiki hubungan dengan Allah ( hablumminallah ). Namun kenyataannyan apa yang biasa kita lihat, Iedul Fitri seolah kehilangan soulmatenya, orang lebih banyak rekreasi dari pada silaturahmi, bahkan jauh – jauh hari sudah nabung hanya untuk mengunjungi tempat bersenang – senang, tempat yang biasanya malah menjauhkan kita dari Allah. Kakek dan neneknya yang masih hidup belum dia kunjungi dan mintakan ma’afnya malah sudah mengunjungi sang hanoman yang ada di Zoo (entah kalua dia merasa setuju dengan teori
Kalau memang ini yang terjadi, maka kita harus tanyakan kembali pada diri dan hati kita “ bener can euy keislaman kita teh…?
Memang sudah menjadi suatu hal yang lazimah dan kayaknya “rada manusiawi”, mengaflikasikan gerakan mulut kita dalam bentuk tindakan nyata susahnya bukan main. Mungkin untuk itu Allah jauh – jauh hari sudah menegaskan dalam surat-Nya buat kita, “hai orang – orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Dan Allah sangat benci dan murka terhadap orang yang hanya bisa bicara tanpa karya nyata” ( Q.S Al Shaaf : 3-4 ).
Kita memang biasanya hanya bisa “taat kalau ada yang lihat”, contoh sederhana dalam kehidupan. Seorang pengendara menerobos lampu merah, dan ternyata ada penegak hukum -yang kadang – kadang tidak tegak- yang tida dia lihat, akhirnya ia ditilang, sambil menunjukan wajah yang diseram –seramkan pak polisi berkata : apa kamu tidak lihat lampu merah? Saya lihat pak!! Jawab I pengendara dengan ekspresi tenang. Kemudian sang polisi berkata lagi dengan nada lebih keras, lalu kenapa kamu terobos lampu merah itu ? dengan wajah polos dan tanpa dosa si pengendara menjawab : saya tidak lihat bapak, pak polisi ….??!!!!
Memperhatikan cerita sederhana diatas, kalau kita perhatikan dalam kehidupan keberagamaan kita, ternyata kita selama ini belum benar – benar memahami arti “ihsan” yang sesungguhnya. Seperti didefinisikan para jagonya ilmu agama yang dikenal dengan sebutan ulama, ihsan itu sebagai bentuk keyakinan kita akan perhatian sang pencipta “ kamu beribadah kepada Allah seolah kamu lihat Dia, seandainya kamu merasa tidak melihat –Nya, maka yakinlah kalau Dia melihat kamu”. Kalau begitu benang merah yang bisa kita tarik dari narasi diatas adalah “rumus hidup sukses di dunia dan bahagia di akherat kelak (kalau anda yakin akhirat ada) adalah kita merasa selalu diperhatikan Allah Sang Pemerhati, tapi sudahkah kita merasa demikian? Kalau belum, itu artinya kita harus tanyakan lagi kepada diri dan hati kita, sudah benarkah keislaman saya teh?????...!!!!
Wallahu a’lam…….
REMEMBER THIS…!!!!!!
Kalau kamu ingin membenci atau memusuhi sesuatu, maka bencilah “perutmu” sendiri ! karena tidak ada yang lebih jahat dari perut. Semua yang dilakukan oleh seluruh makhluk hidup terutama yang namanya manusia, adalah komando perut, perut adalah komandan yang akan selalu ditaati oleh siapa saja. Orang berani nyuri dan korupsi untuk perut, orang berani bohong dan menipu hanya untuk turut ”kahayang” perut.
Kalau kamu ingin memuji, maka pujilah Allah Ajja wajalla!! Karena tidak ada yang patut dipuji selain dari-Nya. Dia yang telah memberikan segala fasilitas hidup mewah di apartemen keren yang bernama dunia,maka pujilah Dia dengan say thank you than aflikatif. Manfa’atkan segala yang telah diberikan-Nya dengan baik, pelihara dan rawat serta jaga dari segala macam kerusakan, jangan malah kamu sendiri yang merusaknya.
Kalau kamu bersiap menghadapi sesuatu, maka bersiaplah untuk menghadapi kehidupan akherat nanti, karena tidak ada kehidupan yang sesungguhnya selain kehidupan di akhirat nanti. Kamu akan dimintai pertanggungjawaban dari semua yang telah kamu lakukan di dunia ini. Ingat!!! Bahwa pintu menuju akhirat telah menganga menanti dihadapanmu, ia adalah “mati” dan semua orang akan melewati pintu itu. Satu cara biar kita tidak bertemu dengan mati yaitu “ jangan hidup”, tapi kalau kita sudah terlanjur hidup, maka kita tinggal bersiap untuk menghadapinya.
Remember this too….!!!!
Aku tahu, amalku tidak mungkin diperbuat oleh orang lain, makanya aku sibukkan diriku untuk beramal
Aku tahu bahwa jatah rizkiku di dunia tidak akan diambil orang lain, makanya aku tenang
Aku tahu bahwa bahwa Allah selalu melihatku, makanya aku malu seandainya Dia mendapatiku sedang berbuat maksiat
Aku tahu bahwa kematian telah menantiku, makanya aku bersiap menghadapinya demi kehidupan akheratku….
[1] Penulis adalah manusia biasa, pecinta sepak bola, penggemar Seva…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar