NASIB PURWAKARTA PASCA PILKADA
( Refleksi Philosofis Imaginer )
Oleh : Yusep Solihudien
( Ketua STAI DR.KHEZ. Muttaqien )
Lengsernya Soeharto tahun 1998 merupakan pintu gerbang untuk masuknya kebebasan politik yang tiada taranya, setelah 32 tahun sudah bangsa dikekang dengan kekuatan rezim otoriter Soeharto. Reformasi menjadi sebuah idola politik baru untuk mengekspresikan kebebasan politik yang sangat hebat. Transisi demokrasi dari tahun 1998 sampai 2007 telah menghasilkan 4 presiden yang konon merupakan produk kebebasan politik. Konon ”Klimak politik” dari era reformasi adalah terjadinya pemilihan Presiden, Gubernur dan Bupati / Walikota secara langsung. Malah mungkin kita bisa disebut sebagai sebuah negara ”super demokrasi”, bayangkan oleh kita masyarakat yang di pedesaan melakukan pemilihan langsung yang sangat melelahkan dan panjang. Masyarakat kita memilih langsung ketua RT, RW, Kepala Desa, Bupati / Walikota, pemilihan anggota Legislatif, DPD, dan pemilihan Presiden. Ada sekitar tujuah lapis pemilihan langsung yang dilakukan oleh masyarakat kita.
Jika demokrasi diukur dengan pemilihan langsung pemimpinnya, maka jelas kita negara yang paling nomor wahid dalam demokrasi, sehingga bisa mengalahkan ”embahnya demokrasi” (Amerika dan Eropa). Konon katanya, di negara embah demokrasi pemilihan langsung hanya sampai di jenjang Gubernur saja. Tapi apakah demokrasi telah berkorelasi positif dengan kesejehteraan rakyat. Jawabannya, tidak. Demokrasi tidak menjadi garansi untuk terciptanya kesejahteraan. Katakanlah konon pemilihan desa yang dipilih langsung oleh masyarakat sudah berjalan puluhan tahun, namun apakah masyarakat desa telah bergerak ke arah sejahtera. Tentu tidak, masyarakat di pedesaan masih berenang dalam lumpur kemiskinan, dekadensi moral, kekurangan gizi, pengangguran dan keterbelakangan pendidikan serta infrasturktur desa yang rusak.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan radikal mengapa demokrasi di jenjang desa sudah hebat, namun tetap masyarakat dalam kubangan penderitaan. Untuk menjawab hal tersebut, kita terpaksa harus meminjam sedikit teori. Konon menurut teori, demokrasi akan berkualitas baik, jika ditunjang oleh kondisi ekonomi yang stabil dan baik dan tingkat pendidikan masyarakat yang baik pula. Prasyarat teoritis politik ini belum terpenuhi di negeri kita, malah sangat amburadul. Dalam kondisi ekonomi yang super krisis, sembako mahal dan pendapatan masyarakat semakin rendah, akan muncul rumusan bagaimana caranya dapat uang sebanyak mungkin untuk memperpanjang kehidupan. Dalam kondisi tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, masyarakat terjebak pada ”sinetron politik” mudah dibohongi, agitasi, adu dan domba politik, silau oleh simbolitas politik, mitos politik, dan gampang menerima embel-embel materi, bahkan mistis politik sekalipun. Dua Prasyarat politik itu merupakan mayoritas yang ada di masyarakat kita. Maka ada beberapa kemungkinan politik yang terjadi dengan kondisi tersebut.
Pemilihan langung Desa, Bupati/Walikota, Gubernur, DPRD, DPR, DPD, dan Presiden telah menyedot anggaran pemerintah puluhan trilyun, belum lagi sang calon harus siap menggelontorkan untuk ”Cost Politik dan Money politik”. Seorang kepala Desa bisa menghabiskan puluhan juta bahkan lebih hanya untuk menjadi kepala desa di kampungnya. Seorang yang ingin menjadi calon Bupati dan Wakil Bupati harus menyiapkan uang untuk bayar ”tiket politik” melalui partai politik, uang untuk pelumas mesin-mesin partai, uang untuk garansi politik dengan berbagai stakeholders, uang untuk biaya kampanye, untuk membayar saksi pemilu, serangan fajar (money politik), dan kalau menang harus ada uang bonus untuk tim sukses. Calon harus menyiapkan anggaran sampai puluhan miliyar rupiah untuk menyiapkan diri dalam medan pilkada.
Masalahnya, bagaimana caranya calon bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Ada beberapa kemungkinan, pertama memang calon sudah kaya sebelum mencalonkan diri. Calon ini akan lebih leluasa untuk bergerilya politik dengan kekuatan uang yang dimilikinya. Kedua, calon memang kondisi hartanya pas-pasan, sehingga bagi calon yang incumbent bisa dengan leluasa numpang beken lewat APBD dengan cara mark up atau korupsi sekalipun. Bagi calon yang tidak ada kuasa, maka ia bisa mengumpulkan para pengusaha untuk ”patungan politik” atau utang piutang dengan garansi proyek-proyek APBD, jika dirinya menang.
Selepas calon menang dalam pertarungan Pilkada, ia akan menjadi Bupati untuk empat tahun kedepan. Ada prediksi refleksi imaginer yang akan terjadi jika Bupati / Wakil Bupati yang jadi tidak mempunyai ”rem keimanan dan akhlak ”. Karena untuk membayar utang piutang politik dengan mengandalkan gaji Bupati atau oprasional Bupati secara murni dan benar tidaklah akan cukup. Maka tahun kesatu dan kedua bagaimana caranya membayar utang piutang pilkada kepada para pengusaha, dengan beberapa modus antara lain dengan mark up proyek, prosentase proyek, dan memeras para pejabat kepala Dinas. Tahun ketiga dan keempati harus mencari lebih untuk kekayaan pribadi dan persiapan untuk pilkada berikutnya. Kemungkinan untuk skenario ”kezaliman politik ”ini akan mulus jikalau ditunjang oleh kekuatan mayoritas politik di DPRD dan lemahnya kontrol kekuatan ekstra parlemen ( gerakan mahasiswa, LSM, Pers, dan ulama).
Belum lagi terbuka peluang untuk semakin gonjang ganjing politik penyimpangan-penyimpangan APBD periode yang lalu. Lagu-lagu manis yang dinyanyikan pada saat kampanye Pilkada yaitu mensejahterakan rakyat, pendidikan gratis, kesehatan gratis, perbaikan pertanian dan perkebunan, pemberian modal, perbaikan infrastrukutur, perluasan lapangan kerja, dan lain-lain merupakan rayuan manis yang selalu dikumandangkan di hadapan rakyat. Lagu-lagu itu hanya tinggal kenangan indah waktu kampanye.
Agenda-agenda perbaikan Purwakarta seperti penataan pendidikan, penataaan pelayanan kesehatan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan usaha kecil, perbaikan infrasturktur, penarikan investor, pembukaan lapangan kerja, peningkatan gizi masyarakat, penataan pasar tradisional dan tata ruang, serta segudang agenda pembangunan lainnya telah menanti untuk ditingkatkan ke arah yang lebih baik. Kalau Pimpinan Purwakarta yang sekarang menjadi pemenang sibuk terlarut untuk ” membayar piutang dan kekayaan pribadi dan golongannya” serta menari-nari diatas penderitaan rakyat, maka ia berarti telah memilih ”gerak sejarah kehancuran daerah ”. Karena Gusti Allah bersabda, ” Apabila aku bermaksud hendak membinasakan suatu kaum maka aku perintahkan pemimpin-pemimpin itu untuk taat, tetapi mereka ingkar, maka sungguh telah berlaku suatu keputusan dan kami hancurkan dengan hancurnya”.
Seluruh kekuatan elemen umat telah diperintahkan Gusti Allah dan kangjeng Nabi Saw. untuk melakukan ”amar ma’ruf nahyi munkar politik” dengan mempertajam pengawasan dan menggalang kekuatan ”ekstra parlemen” agar terwujud ”watawa shaw bil haq dan watawa shaw bil Shabar” yang tulus, solutif, dan sinergis. Tentu saja, kekuatan kritik harus diniatkan rasa cinta dan ikhlas pada pimpinan agar tidak tergelincir menjadi pemimpin yang zalim. Jika amar ma’ruf politik itu mandeg dan tumpul, maka kita harus siap-siap menghadapi ”parade dan pameran bencana/musibah ” yang mungkin akan menimpa kota tercinta ini. Semoga tulisan ini menjadi inspirasi bagi kita semua untuk berbuat yang terbaik dan terindah bagi Purwakarta. Wallahu ’alam Bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar