Powered By Blogger

Senin, 02 Maret 2009

MEMBELI KUCING DALAM “ KANTONG PLASTIK “

By : Yusep Solihudien

Tanggal 5 Juli 2004 nasib perjalanan bangsa Indonesia akan ditentukan oleh suara yang diputusakan hasil olah nurani dan akal rakyat Indonesia. Sudah lima Presiden memimpin bangsa yang sudah berusia 56 tahun. Sudah cukup tua umur bangsa ini. Di usia ini rasanya cukup untuk mengukur kesuksesan dan kegagalan hidup seseorang. Namun, sebagai rakyat rasanya kita hanya melihat bahwa usia ini justru belum menunjukan kesuksesan. Ibarat seorang tua di usia 56 tahun sakit-sakitan, fakir dan miskin, serta tidak berdaya.

Problematika Bangsa

Kekayaan bangsa yang melimpah ruah di lautan dan daratan sampai digelari jamrud khatulistiwa bahkan Koes Plus menyatakan, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, belum berpihak untuk rakyat. Malahan bangsa kita mempunyai segudang prestasi kebobrokan bangsa. Kita masih tercatat sebagai negara yang prestasi korupsi masuk 5 besar dunia. Kebocoran anggaran negara sampai 30 % yang disinyalir BPK, dan semakin banyaknya anggota DPRD dan kepala daerah yang digusur ke meja hijau, merupakan indikasi kuat betapa korupsi benar-benar merajalela. Lucunya lagi, hampir sebagian besar para koruptor dan konglomerat hitam bisa bebas berkeliaran sambil tersenyum, tetapi pencuri ayam dan jemuran sampai benjol malah dibakar massa dan kakinya ditembak Polisi. Hukum tidak bisa menyentuh orang kaya dan memiliki kekuasaan, hukum hanya untuk orang-orang miskin.

Kemiskinan sebelum krisis ditambah kemiskinan pasca krisis ekonomi semakin melambung tingginya deretan orang-orang miskin bangsa Indonesia.Kondisi ini menjadi bom waktu yang meledak saat ini. Angka pengangguran pun membengkak. Ratusan ribu orang mencari kerja keluar negeri, walau dengan illegal dan skil minim. Kondisi ini membawa epek sosial luar biasa, angka kriminalitas, kerusuhan dan konflik sosial pun membumbung tinggi, dan menjadi hiasan berita sehari-hari kita. Bangsa kita sangat sensitif, bagaikan rumput kering yang dilempar puntung rokok pun bisa kebakaran. Seiring dengan itu, angka kekurangan gizi anak-anak generasi penerus bangsa kita pun semakin membengkak. Rakyat tidak mempunyai kekuatan ekonomi untuk membeli makanan dan minuman bergizi. Lost generation menjadi ancaman besar bagi kelanjutan negeri ini.

Limbah globalisasi ( westernisasi ) informasi menjadikan bangsa kita kehilangan identitas dan jati diri budayanya. Betapa liberalisasi informasi pornograpi dan porno aksi yang didalamnya tertancap budaya kebebasan (librealisme) dan kebahagian (hedonisme), telah memberikan investasi besar bagi semakin tingginya angka pemerkosaan, pergaulan sek bebas (perzinahan), angka aborsi, dan penyakit HIV AIDS. Sisi lain, kualitas pendidikan kitapun masih mencari ramuan-ramuan jitu bagaimana format yang pas bagi pendidikan bangsa Indonesia. Banyak hancurnya bangunan SD, meningginya angka putus sekolah, semakin banyaknya angka anak sekolah bunuh diri, komersialisasi buku di sekolah, banyaknya sekolah yang kekurangan guru, bongkar pasang kurikulum, lemahnya penguasaan bahasa asing, kontroversi UNAS, dan segudang kelemahan pendidikan kita, merupakan deretan kebobrokan pendidikan kita. Akibatnya bisa ditebak, persaingan sumber daya manusia dengan SDM lua negeri banyak mengalami kekalahan. Tenaga kerja SDM kita sebagian besar mengisi dapur, garasi, dan kebun.

Ketidakmandirian dan ketidakberdayaan ekonomi dan politik terhadap intervensi asing masih terlihat dengan kasat mata. Betapa kita tidak sanggup untuk menghadapi tekanan ekonomi asing sehingga aset-aset strategis bangsa diobral dijual ke tangan asing. Belum lagi, kita harus mengemis kenegara-negara donor untuk pinjem duit –ngutang- dengan bunga tinggi dan tentu dengan persyaratan yang ketat untuk keuntungan negara donor. Akhirnya, kita menyaksikan kekayaaan hutan, laut, dan kandungan bumi Indonesia dikeruk habis-habisan oleh kapitalisme asing. Hutang negeri kita pun semakin membumbung tinggi, sampai jumlah hutang Indonesia dibagi jumlah penduduk kita, setiap orang Indonesia mempunyai hutang 7 juta. Belum lagi kita melihat, nasib buruh-buruh pabrik kita sangat memprihatinkan berjuang membiaya hidupnya bahkan ribuan kena PHK. Dengan sangat telanjang, kita pun menyaksikan proyek terorisme asing merambah ke negeri kita. Betapa sangat keukeuhnya polisi kita menahan Abu Bakar Basyir yang bukti-buktinya belum jelas dan kabur

Pilihan Rasional VS Mitos

Dari segudang permasalahan bangsa ini muncul pertanyaan, kira-kira karakter Presiden seperti apa yang akan mampu melesatkan bangsa ini menjadi negeri maju ? Namun saaat ini sedang terjadi perang imag dan citra lewat media, semua bisa dipoles indah, merakyat, dan moralis. Dalam sebuah iklan Capres tertentu, dengan memakai bahasa ABG menojolkan “kapan lagi kita punya presiden keren ”. Capres lain supaya dikesani indah dan dekat rakyat digambarkan membantu nelayan, petani, pedagang dan lain. Bahkan ngadadak kampanye pun pergi ke pasar-pasar ngobrol dengan pedagang, petani dan nelayan. Capres lain memamerkan konon segala keberhasilan kepemimpinannya. Padahal ketika ia sedang menjadi pejabat jarang-jarang mengunjungi pasar tradisonal, petani dan nelayan. Tak ketinggalan terjadi perang fatwa untuk kepentingan Capres. Para tim sukses sedang adu ajian untuk memoles capres dan cawapresnya terutama dengan media televisi. Yang utama, bagaimana memikat hati rakyat dengan memanpaatlam segala mitos dan ikatan emosional rakyat yang dimilikinya.

Pilihan rasional adalah sebuah pilihan yang ditimbang-timbang dengan akal pikiran yang matang dan dalam tidak hanya mengandalkan sentimen emosional semata. Dalam menentukan capres yang pas akan terjadi perdebatan sengit. Namun, diantara hal yang harus dimiliki oleh Capres adalah mempunyai kriteria dasar. Dalam mimpi saya, ia yang pertama haruslah mempunyai sipat dan track record jujur. Kejujuran akan menjadikan pemimpin untuk secara terbuka, tulus, dan ikhlas menjelaskan segala masalah pembangunan bangsa dan dialog terbuka dengan rakyatnya. Kedua, sipat berani. Jiwa keberanian akan menjadikan pemimpin ini berani untuk memberantas dan menggebug segala jenis kemunkaran bangsa tanpa pandang bulu. Ia cukup berani mengambil resiko apapun asal itu untuk kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran rakyatnya.

Ketiga, sipat cerdas. Pemimpin harus mempunyai kualitas intelektual di atas rata-rata. Sehingga ia mampu menghasilkan ide-ide brilian, kreatif, inovatip dan progresif bagi kemajuan bangsa, serta mampu mandiri dan memfilter serta menganalisis formula kebijakan. Era politik baru dalam sejarah Indoensia dalam memilih presiden, secara teori kita tidak lagi membeli kucing dalam karung, tetapi dalam kantong plastik yang transparan. Akan tetapi secara praktis, kita harus sekuat tenaga mengerahkan akal pikiran dan nurani untuk meneliti kualitas “kucing” dalam pemilu terbuka. Kita jangan tertipu dengan manipulasi media televisi yang banyak mengobral mitos-mitos para capres. Sebagai yang beragama Islam kita harus meminta petunjuk Allah SWT melalui shalat istikharah untuk menjatuhkan pilihan calon pemimpin kita. Semoga kita bisa memadukan kekuatan akal pikiran, nurani, dan petunjuk Allah untuk menjatuhkan pilihan Capres kita. Wallahu ‘alam bissawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar