Powered By Blogger

Sabtu, 21 Maret 2009

Marginalisisi Pendidikan Islam

Oleh : A_dHie

Guru Madrasah merupakan pahlawan yang memberikan kontribusi riil terhadap terwujudnya pendidikan nasional. Dalam UU Sisdiknas BAB II Dasar, Fungsi dan Tujuan pada pasal 3 menyatakan bahwa :“ Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangungjawab”. Perwujudan ” Peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia,” ini tidak terwujud secara serta merta, namun harus melalui proses yang intens untuk membimbing siswa/i nya dalam pembentukan pribadi yang berakhlaq mulia,tentunya pembentukan secara komprehensip ini ada pada lembaga pendidikan islam(Madrasah). Pasalnya, alokasi waktu yang diberikan sekolah yang nota benenya negeri sangat terbatas. Konsekuensinya Madrasah adalah tempat strategis dalam pembentukan akhlaq peserta didik. Namun, ironisnya minat peserta didik terhadap pendidikan islam mengalami degradasi, pasalnya, ijazah yang dikeluarkan dari madrasah tidak memberikan efek yang signifikan, sehingga yang menjadi acuan adalah ijazah negeri yang lebih menjanjikan dan memiliki legalitas formal dari pemerintah.
Dikotomi Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam lambat laun semakin kentara, berbagai regulasi yang digulirkan hanya tinggal wacana, perhatian pemerintah lebih terfokuskan terhadap pendidikan nasional, sedangkan pendidikan islam hanya di anak tiri kan. Padahal, dalam literatur sejarah pendidikan di Indonesia, Pendidikan Islam lahir lebih awal dibanding pendidikan nasional, pendidikan islam merupakan ring ke-2 sebagai penanaman nilai-nilai moralitas pada anak didik, bahkan dalam perjuangan kemerdekaan sekalipun pendidikan islam mampu membawa semangat perjuangan untuk merdeka. seharusnya, pemerintah bisa bersikap egaliter terhadap pendidikan nasional dan pendidikan islam.

Diskursus pendidikan di indonesia khususnya di Purwakarta ini sungguh sangat memprihatinkan, moralitas instumen yang terkait dalam dunia pendidikan patut kiranya dipertanyakan, pasalnya segudang solusi terkadang terintervensi oleh infuls belaka dan terintimidasi oleh culture politik. Mulai dari pemegang kebijakan hingga tingkatan grassroot (akar rumput) sekalipun, para pemegang kebijakan dalam membuat suatu regulasi selalu bermain dengan logika politik, sedang para pelaksana kebijakan seolah membuat Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh STAI DR.KHEZ.Muttaqien terhadap sex bebas yang dilakukan SMA/MA sederajat di Purwakarta cukup menyesakkan nafas,
Problematika ini perlu adanya suatu kerangka refleksi terhadap pendidikan, apakah pembelajaran di sekolah tentang PAI sudah mencukupi atau malah sebaliknya, realitas hari ini Pendidikan Islam khususnya madrasah semakin tertinggal dan di tinggalkan, pola fikir masyarakat lebih cenderung pragmatis terhadap pendidikan, mereka lebih mementingkan pendidikan yang menjamin anaknya mengakuisi pekerjaan yang layak tanpa memperhatikan sisi lain yang sebenarnya elan vital. Al-hasil, degradasi moralitas terjadi dalam dunia pendidikan kita. Rating kenakalan remaja semakin meningkat, mungkinkah akar yang menjadi kausal semua ini adalah lemahnya minta masyarakat terhadap pendidikan islam? Ataukah Perda tahun 2007 tentang syarat memasuki SLTP/MTs harus melampirkan ijazah Madsarah hanya sebatas wacana belaka???
Sepertinya problematika ini perlu adanya empowerment(penguatan) terhadap Pendidikan Islam khususnya madrasah. Karena madrasah merupakan pengenalan terhadap nilai-nilia moralitas yang lebih komprehensip, manuskrip Perda kabupaten Purwakarta tahun 2007 kiranya perlu diimplementasikan secara kongkrit, sebagai kerangka antisipasi terhadap terjadinya degrasadasi moralitas generasi penerus selanjutnya,konsekuensi logisnya, kesejahteraan guru madrasahpun akan terealisasi, pasal nya, ketika terjadi peningkatan quota siswa madrasah akan memberikan kontribusi yang signifikan, meskipun hari ini kesejahteraan guru madrasah ini cukup memprihatinkan ditengah tuntutan guru honorer,guru honda,guru sukwan,guru bantu menuntut kesejahteraan dan kenikan gaji maupun menuntut diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan guru madrasah hanya meratapi nasib yang dialaminya, sebetunya, salah satu perwujudan dari “9 Langkah Ngawangun Nagri Raharja” adalah merekontruksi pendidikan islam (madrasah) dan menjadikannya sebagai basis terdepan dalam pembentukan moralitas siswa/i di Purwakarta khususnya. Dengan memperhatikan kesejahteraan guru madrasah dan infrastruktur di berbagai madsarah yang ada di Purwakarta. Karena jargon tadi hanya sebatas utopia jika tidak terjadi suatu titik keseimbangan antara pendidikan nasional dan pendidikan Islam.

Wallahu A’lam Bisshawaab…

Rabu, 18 Maret 2009

MENANTI DETIK-DETIK “KIAMAT DUNIA PENDIDIKAN” KITA

Oleh : Yusep Solihudien

Sekarang ini setiap Negara sedang melakukan revolusi pendidikan besar-besaran untuk berlomba-lomba menghasilkan sumber daya-sumber daya manusia unggul dan kompetetitip. Sektor pendidikan telah dijadikan aspek maha penting dan senjata utama untuk menguasai dunia. Pada saat negara-negara lain sedang berlari kencang dan cepat melakukan revolusi pendidikan, negeri kita baru sedang mulai berusaha berjalan dengan tubuh luka, lemas dan tertatih tatih. Segudang kebijakan dan obat telah digelontorkan oleh pemerintah untuk memperbaiki penyakit di dunia pendidikan kita baik menyangkut sarana, pra sarana, kurikulum, evaluasi, media pengajaran, buru, dana oprasional sekolah, siswa, partiasipasi masyarakat maupun guru.

Dari sejuta obat yang diproduksi untuk mengobati sakitnya dunia pendidikan kita, maka ada salah satu obat yang menjadi akar sakitnya dunia pendidikan kita yaitu, kondisi kualitas guru. Banyak gelar yang dialamatkan untuk menunjukan betapa maha pentingnya guru dalam menentukan kualitas pendidikan, seperti, “guru sebagai agen perubahan siswa”, “guru sebagai ujung tombak pendidikan”, dan “guru ujung tombak pencerdasan bangsa”. J Drost (2001) sempat menyatakan bahwa diantara agenda utama perbaikan pendidikan, sangat ditentukan oleh bagaimana cara guru mengajar di depan kelas.

Namun ada beberapa masalah yang dihadapi oleh sebagian besar para guru kita seperti, rendahnya kesejahteraan guru, lemahnya penguasaan materi ajar, tumpulnya metode dan media pengajaran, lemahnya evaluasi pengajaran, lemahnya pemahaman psikologi pendidikan dalam pengajaran, kurangnya etos membaca dan menulis karya para guru, kurangnya reference untuk pengembangan pembelajaran, lemahnya penyusunan administrasi pengajaran serta lemahnya guru dalam penguasaan teknologi informasi pembelajaran. Segudang kompetensi itu sangatlah penting dalam mentransfer ilmu dan nilai-nilai kehidupan bagi kecerdasan dan keshalihan anak-anak didik. Maka itu wajar kalau istilah yang penulis gunakah yaitu “kiamat pendidikan”, karena guru sebagai faktor pembentukan kepintaran dan kecerdasan anak-anak kita memilki segudang masalah. Bahayanya kiamat pendidikan ini akan berujuang pada tidak mampunya siswa menampilkan kecerdasan yang membanggakan serta belum bisa menampilkan perilaku akhlakul karimah. Kalau keadaan anak-anak kita saat ini seperti itu, maka masa depan bangsa kita benar-benar dalam keadaan yang mengarah kepada kehancuran.

Menyadari itu, maka pemerintah mengeluarkan obat untuk memperbaiki lemahnya kompetensi guru dengan terbitnya kebijakan “sertifikasi” bagi seluruh guru. Ditambah lagi dengan semakin dimanjakannya sektor pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah dengan semakin banyaknya anggaran bagi pendidikan. Angin segar nan surgawi sertifikasi guru dan diprioritaskannya pendidikan memunculkan perubahan persefsi tentang status profesi guru yang lebih menjanjikan masa depan. Maka seperti sebuah booming bagi guru dengan serta merta para guru kita harus melakukan loncatan karir keguruan dengan harus mengikuti program sarjana agar bisa mengikuti sertifikasi, dan sebanyak mungkin menumpuk sertifikat kegiatan seminar, diklat, atau work shop.

Namun sayang, “virus” mental menghinggap di sebagian besar jiwa guru kita yaitu “virus instan dan pragmatisme” benar-benar menggerogoti jiwanya. Untuk mengejar gelar sarjana banyak yang mengikuti dan memilih perguruan tinggi yang bermazahab “pragmatisme” , dengan motonya UTS, UAS, skripsi bisa beli dan “gampang serta cepat beres kuliah” dan cepat mendapat ijazah sarjana. Praktik yang secara umum dilakukan oleh “perguruan tinggi kelas jauh” ini laris manis bak jualan kacang goreng, karena menjanjikan sejuta kemudahan agar cepat gelar sarjana. Wajar kalau kemudian, dirjen dikti atau Direktorat Pendidikan Tinggi islam mengeluarkan “larangan keras (haram) kelas jauh” dengan ancaman ijazah Perguruan Tinggi kelas jauh dan tidak terakreditasi tidak bisa mengikuti sertifikasi dan penyesuaian kepangkatan.

Larangan ini berangkat dari banyaknya fenomena praktik “mapia pendidikan” dengan jalur tol cepat tanpa melalui proses akademik yang sesuai dengan aturan. Sangat mengerikan kalau program sarjana bisa selesai dengan hanya satu tahun setengah atau dua tahun. Bahkan yang mengerikan mereka sanggup membeli ijazah dengan sejuta kedok seremonial akademik dan bisnis skripsi atau tesis “. Hasilnya dari sebuah sistem akademik yang bobrok tentu akan menghasilkan sumber daya guru yang bobrok kompetensinya. Belum lagi proses penumpukan sertfikat seminar atau kegiatan bisa juga melalui jalur “pragmatisme” . Bisa membeli sertfikat seminar atau pelatihan kepada panitia, sementara guru tidak mengikuti kegiatannya. Padahal kegiatannya mungkin baik untuk memberikan penambahan wawasan pendidikan dan pengajaran, hanya sebagian guru enggan mengikutinya dengan alasan cape dan bosan. Yang penting mah dapat sertifikat untuk sertifikasi.

Proses akademik program sarjana dan seminar yang bertujuan untuk menambah kompetensi para guru, akhirnya karena tidak dilakukan sesuai dengan tata aturan Perguruan Tinggi yang benar, maka hanya menghasilkan kompetensi profesi guru yang tetap saja rendah bahkan nyaris tidak ada pengaruhnya pada sikap profesi maupun akhlak. Bisa ditebak, arah kiamat pendidikan dengan ini akan begitu sangat cepat terjadi. Dengan rendahnya kompetensi profesi dalam pendidikan dan pengajaran, maka proses belajar mengajar di kelas tidak akan maksimal. Karena guru rendah dalam penguasaan kurikulum, materi dan metode pembelajaran, maka transfer teori-teori ilmu kepada para siswa tidak akan optimal, sehingga siswa tidak mampu menguasai materi keilmuan. Karena rendahnya penguasaan teori keilmuan para siswa, akhirnya siswa kita rendah dalam kompetensi keilmuannya. Akhirnya, dalam ujian nasional dibentuk tim sukses yang bertugas mendongkrak nilai kelulusan para siswanya. Karena rendah kualitas SDM maka ia sulit bersaing dalam kehidupan dan selalu kalah dalam medan pertempuran sumber daya manusia.

Karena guru rendah dalam proses transfer nilai-nilai kearifan hidup dan ketauladanan akhlak, maka siswa sulit mendapat resapan-resapan nilai yang bertujuan membentuk akhlak karimah. Maka wajar kalau prestasi kebobrokan akhlak para siswa pun sangat hebat misalnya, angka sek bebas dan aborsi pelajar semakin membumbung tinggi, kriminalitas dan tawuran remaja semakin menjadi-jadi, rendahnya etos intelektual, dan konsumsi narkoba remaja membumbung tinggi, serta menyebarnya virus-virus hedonisme dan sekulerisme. Inilah bentuk-bentuk kiamat pendidikan yang sangat dahsyat yang sangat mempengaruhi kualitas pendidikan dan nasib masa depan bangsa. Karena itu penulis menggunakan kata “menanti”, karena sepertinya virus “budaya pragmatisme dan intanisme” semakin menggerogoti dan menjalar ke seluruh aspek profesi guru.

Bahkan virus penyakit itu dipelihara dan dikembangbiakan dengan dikelolalnya praktik perguruan tinggi kelas jauh yang pragmatis dan “mirip mapia pendidikan”, yang jelas sudah dilarang oleh Dirjen pendidikan Tinggi. Yang lebih ironis pengelolaannya dilakukan oleh mengaku para pendidik dan oknum birokrasi pendidikan, serta dijanjikan dan dimimpikan para mahasiswanya untuk bisa diangkat menjadi CPNS. Wajar kalau pendidikan kita terus semakin jatuh pada titik kualitas rendah, karena yang menghancurkan pendidikan adalah para pendidik yang melakukan praktik mapia pendidikan yang konon mencetak calon guru. Kiamat dunia pendidikan semakin cepat terjadi, jika melihat data Balitbang Depdiknas 32 % guru SD, SMP, dan SMU yang layak mengajar. 68% guru tidak layak mengajar. Bahkan menurut Jahya Umar Direktur Pendidikan Islam Depag, sekitar 80 % guru madrasah belum kompeten di bidang yang diajarkan (mismatch).

Disinilah berlaku hukum ekonomi, semakin banyak permintaan “pragmatisme pendidikan”, maka semakin tumbuh subur perguruan tinggi kelas jauh yang mirip “teroris pendidikan” . Sepertinya virus itu sulit dimatikan dengan obat berdosisi tinggi dan keras sekalipun. Mengerikan. Akhirnya, kiamat dunia pendidikan hanya tinggal menanti detik-detik kehancurannya. Selama guru yang mempunyai virus pragmatis dan instan serta perguruan tinggi bergaya “mapia pendidikan” belum “taubatan nasuha” . Akhirnya, masa kini dan mendatang anak-anak bangsa kita semakin dalam jurang kehancuran. Mari kita memperlambat laju kiamat pendidikan dengan cara bertaubat menyadari gelimang lumpur dosa dalam praktik mapia pendidikan, serta bertekad mengikuti aturan tata akademik yang benar. Apalah arti selembar ijazah sarjana dan sertifikat jika itu dibangun dengan tangan-tangan zalim dan kotor. Yakin bahwa ilmu yang didapat tidak akan menjadi hikmah bagi diri sendiri dan anak-anak didik kita. Walaubagaimanapun kita harus berani melaut dengan perahu layar dan dayung apa adanya, sekalipun dengan resiko hancur dan tenggelam. Wallahu ‘alam bisawab.

QUO VADIS PEMBANGUNAN PURWAKARTA ?

Oleh : Yusep Solihudien

( Ketua STAI DR.KHEZ. Muttaqien )

Hingar bingar Pilkada usai sudah, sang Bupati terpilih kini telah terlahir dengan legitimasi minimal dari rakyat. Ia tidak menang mutlak. Malah ia kalah mutlak di pusat kota, dan menang tipis di daerah-daerah luar perkotaan. Berbekal legitimasi suara rakyat yang sangat minimal inilah sang Bupati baru bergerak memimpin Purwakarta. Kemenangan minimalis ini seharusnyai memberikan hikmah bagi Bupati untuk lebih mawas diri dan kontrol diri serta melakukan politik akomodatif didalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan pembangunan Purwakarta. Tulisan ini lebih bersifat refleksi spekulatif philosofis, tidak memvonis pihak tertentu. Hanya spekulasi-spekulasi implikasi logika berpikir, yang mudah-mudahan hal itu tidak terjadi di lingkungan daerah yang kita cintai ini. Quo vadis sebuah kata yang muncul ditengah kegalauan dan kegamanagan ditengah situasi yang serba sulit, yang artinya “hendak kemana “ dalam istilah arab sering kita dengar “faaena tadzhabun “

Secara umum, ada beberapa kemungkinan pragmatis selepas seseorang terpilih dalam suatu hajat besar Pilkada. Bahwa hajat besar Pilkada memakan biaya yang tidak sedikit, sampai bermilyar-milyar. Darimana ia harus mendapatkan cost and money politic itu. Maka jawabannya, harus mengumpulkan dan meminjam dari pengusaha-pengusaha atau pihak yang peduli untuk menjadi tim sukses dirinya. Hutang tetaplah hutang, rumusan who get what pun menjadi paradigma dasar pasca pilkada. Bagaimana membayar pinjaman-pinjaman biaya pilkada itu, maka biasanya sudah ada beberapa cara untuk melunasi itu antara lain dengan garansi pembagian-pembagian proyek APBD, bahkan janji digelontorkannya bantuan-bantuan sosial Pemda. Atau bagi tim sukses “oknum birokrat “ yang bermain cantik dibelakang layar dalam bentuk pengerahan massa, bukan dalam bentuk pinjaman materi, maka ia akan dijanjikan “ditempatkan diposisi yang basah “ di jajaran birokrasi. Jika dengan tiga cara tersebut masih juga belum lunas, maka biasanya melakukan “depolitisasi” lembaga-lembaga daerah non pemerintah entah itu KPU, Panwas, KNPI, Dewan pendidikan, Ormas-ormas,LSM, dan lain-lain, seolah-olah lembaga-lembaga itu menjadi “kompensasi politik” dan “reunian penampungan tim sukses” yang lalu, serta menjadi “bemper-bemper politik”.

Disinilah titik krusial dan dilematisnya dalam menetapkan arah pembangunan, satu sisi beliau harus segera melunasi utang piutang politik, sisi lain ia harus segera merealisasikan janji-janji manis kampanyenya. Ditengah kondisi internal dilematis dan krusial ini, beliau menggulirkan beberapa kata yang konon menjadi entah menjadi moto atau entah menjadi visi antara lain “Digjaya Purwakarta” dan “Purwakarta Berkarakter “. Pernyataan ini bagus-bagus saja sebagai identitas, namun masalahnya adalah apakah moto-moto tersebut dipahami oleh masyarakat dan birokrat serta dapat terukur dan dapat diterjemahkan indikatornya atau tidak. Ditengah trend pembangunan yang bottom up, beliau melakukan top down menghujani masyarakat dan birokrat serta legislatif dengan kata-kata tersebut di atas. Oleh karena itu perlu ditelaah secara dalam, baik akademik maupun normatif, apakah pernyataan-pernyataan itu adalah moto, visi atau pernyataan pribadi bupati. Jika itu merupakan moto Kabupaten, harus melalui payung hukum yang benar, apalagi kalau itu menjadi sebuah visi Purwakarta.

Jika itu merupakan visi maka harus ditelaah dan dianalisis beberapa indikator “digjaya” dan “berkarakter “, serta payung hukum yang tegas dan lugas agar dalam implementasi pembangunannya benar-benar mengarah dan fokus untuk pencapaian dua kata tersebut. Belum lagi kita minta pandangan stakeholders pembangunan tentang disepakati dan tidaknya moto atau visi digjaya dan berkarakter itu. Jika itu telah ditetapkan, muncul lagi pertanyaan dasar dari pandangan kritis itu, apakah sembilan langkah ngawangun nagri raharja itu merupakan penerjemahan dari makna “digjaya “ dan berkarakter” itu. Apakah dengan sembilan langkah itu akan menjadi kepastian dan garansi akan tercapainya Purwakarta berkarakter dan digjaya Purwakarta.

Secara konseptual, sembilan langkah ini cukup ideal dan bagus untuk Purwakarta ke depan, namun yang perlu disiapkan terlebih dahulu adalah komitmen politik dan pembangunan itu selaras dengan denyut nadi keinginan masyarakat saat ini. Apakah sembilan langkah nagwangun nagri raharja ini akan dilaksanakan sekaligus, pertahun dua langkah atau tiga langkah, atau bagaimana. Seberapa kuat APBD kita memback up sembilan langkah tersebut, yang kalau kita lihat proyek infrastruktur dalam sembilan langkah tersebut “proyek mercusuar”’ misalnya pengembangan jalat hotmik, listrik, jalur tembus, pengembangan air bersih, irigasi pedesaan, pola integrasi kehutanan, pengairan, perikanan, pertanian, peternakan dan pariwisata, belum lagi proyek revoasi bangunan tua, situ buled, alun-alun, pasar tradisional, serta penyiapan tanah industri. Pembangunan puskesmas rawat inap di seluruh Kecamatan akan menyedot APBD yang sangat luar biasa besar. Proyek-proyek infrasturktur sembilan langkah ini akan memakan biaya dari APBD yang sangat besar.

Belum lagi kita berbicara non infrasturktur fisik, sektor pendidikan seperti pendidikan gratis tingkat SLTA bagi masyarakat miskin, pembebesan biaya pembelian buku sekolah dan pengembangan kurikulum baca tulis al-Qur’an. Sektor ini jelas akan menyedot anggaran yang luar biasa besar dan ini harus berlaku selama lima tahun kepemimpinan, karena ini biaya pendidikan siswa tidak mampu dan pembebebasan biaya pembelian buku harus dikeluarkan setiap tahun. Jumlah siswa tidak mampu akan semakin membengkak tiap tahun akibat terpaan tsunami krisis ekonomi global dan semakin tingginya biaya hidup. Demikian pula dengan program pelayanan KTP, KK dan akta kelahiran gratis tanpa pandang bulu, akan sangat menyedot biaya APBD yang sangat besar dan trend anggarannya akan pasti terus meningkat. Sementara APBD kita sangat super terbatas, apalagi konon APBD Purwakarta tahun 2009 konon mencapai defisit 35 miliyar, Belum lagi adanya ancaman gubernur akan mencoret APBD yang tidak mengalokasikan anggaran pendidikan 20 %. Ditambah beberapa hal yang sulit dalam hitungan prediksi anggaran misalnya, bencana alam, krisisi ekonomi glonal, trend kotemporer kebijakan nasional, dan trend kontemporer kebijakan pemerintah propinsi yang terkadang mempengaruhi keajegan APBD kita.Belum lagi kita bebricara tentang pengerjaan proyek yang rendah kualitasnya akibat banyaknya pembagian prosentase ke berbagai pihak.

Sisi lain, masyarakat kita semakin terhimpit, tergencet, dan terlibas dampak-dampak eksternal, trend putus sekolah semakin meningkat, trend kemiskinan semakin melonjak tajam, angka pengangguran semakin melesat tinggi, trend gizi buruk dan kematian ibu dan anak akan semakin menggunung. Sederat reflesksi ini bukan bermaksud menularkan pesimisme bagi pembangunan Purwakarta ke depan. Namun, justru “parade kritis” ini sebagi bentuk kasih sayang seorang warga kepada pimpinannya agar, sang pimpinan semakin amanah, hati-hati, arif, bijaksana, istiqomah, serta mengembangkan dialog terbuka dengan berbagai stakeholders sehingga kebijakan yang dilahirkan tidak kontropersial di masyarakat.

Karena itu menurut penulis ada beberapa saran yang harus dilakukan untuk efektivitas impelementasi sembilan langkah menuju digjaya Purwakarta tersebut antara lain, Pertama, Niatkan sekuat tenaga dalam diri pimpinan untuk ibadah dan amanah serta menjadi tauladan kebaikan dalam menjalankan tugas dari Allah sebagai Bupati. Kedua, Bupati melakukan dialog aspiratif secara informal, terbuka, tulus dan ikhlas dengan setiap sektor dijajaran birokrasi, legislatif dan masyarakat untuk meghasilkan pemetaan masalah yang sebenarnya, sebab apa yang kita pikirkan belum tentu itu merupakan gambaran utuh dari sebuah realitas. Ketiga, Setelah pemetaan masalahnya pembangunan terlihat dan terukur, segera melakukan reseach secara obyektif, faktual, dan valid oleh tim riset Perguruan Tinggi kredibel untuk menentukan beberapa alternatip solusi dan skala prioritas. Keempat, buatlah komitmen politik dengan legislatif rencana prioritas program pembangunan dan anggaran dalam jangka lima tahun kedepan. Kelima, Penempatan pejabat birokrat bukan karena kedekatan, balas jasa politik, dan duit namun, tempatkan pejabat-pejabat pelaksana teknis yang amanah dan profesional di bidangnya, sehingga ia benart-benar cekatan, gesit dan cerdas dalam menerjemahkan ide-ide besar sang Bupati.Keenam, buka kran partisipasi dan kontrol publik yang kuat terhadap proyek-proyek pembangunan sehingga hasil pengerjaan proyek itu benar-benar berkualitas.

Sahabat bertanya, “Kapan terjadi kiamat ? Kangjeng Nabi bersabda, “ Apabila amanah telah diselewengkan ”. Bagaimana ya Rasulullah bentuk penyelewengannya itu ? Nabi berkata, “ Apabila sebuah urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya tunggu saja kehancurannya”.Maka roda gerak sejarah pembangunan Purwakarta sedang berjalan ke arah kesuksesan, jika yang berkuasa dan timnya bersikap amanah dalam tugas. Sebaliknya, rodak gerak sejarah pembanguan Purwakarta sedang berjalan ke arah kehancuran, jika sang penguasa dan timnya tidak bersikap amanah. Karena kita mempunyai akal dan hati, ya Pilihan kemana arah roda itu bergerak ada di tangan kita. Mudah-mudahan kita semua diberikan oleh Allah ketajaman hati nurani dan akal bersih untuk menetapkan arah pembangunan kota tercinta ini. Wallahu ‘alam bissawab

PENGARUH ANDALUSIA TERHADAP DUNIA BARAT


Oleh : Yusep Solihudien, S. Ag., M. Pd.I

Muqadimah

Nurcholis Madjid sempat pernah mengatakan bahwa, Barat tetap saja tidak mengakui adanya utang budi kepada peradaban Islam. Ini berbeda berbeda dengan pada umumnya sikap kaum muslimin. Orang Islam dari dulu sudah mengakui bahwa filsafat dipinjam dari Yunani, matematika dari India, kimia dipinjam dari Cina dan seterusnya. Itu semua diakui tanpa ada halangan sama sekali.1

Sementara itu, seorang sarjana Barat bernama Max Dimont mengatakan bahwa orang Barat menderita narsisisme. Mereka mengagumi diri sendiri dan kurang memiliki kesediaan untuk mengakui utang budinya kepada bangsa lain-lain. Mereka hanya mengatakan, bahwa yang mereka dapatkan itu adalah warisan dari Yunani dan Romawi. 2 Karena itu perlu ada pelacakan historis dalam menemukan dan membuktikan pengaruh peradaban Islam dalam perkembangan peradaban Barat. Makalah ini berupaya keras untuk membuktikan hal tersebut.

Proses Ekspansi Ke Andalusia

Ketika itu Dinasti Umayah dipegang oleh Khalifah al- Walid bin Abdul Malik (al-Walid I ) (naik takhta 86 H 1705 M ), khalifah keenam. la menunjuk Musa bin Nusair sebagai gubernur di Afrika Utara Pada masa kepemimpinan Musa bin Nusair, Afrika sebagian barat dapat di kuasai kecuali Sabtah (Ceuta ) yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Bizantium. Ketika inilah pasukan Islam mampu menguasai bagian barat sampai Andalusia.

Kerja sama ditawarkan oleh Julian kepada tentara Islam yang ketika itu dipimpin oleh Musa bin Nusair di terima dengan baik. Setelah mendapat persetujuan dari Khalifah al Walid I, Musa bin Nusair memerintahkan panglima Tariq bin Abdul Malik an- Nakha I melakukan penjajakan awal dengan membawa 400 tentara dengan 100 pasukan berkuda memasuki wilayah Andalusia pada tahun 710. pada tahun 711. Musa bin Nusair mengutus *Tariq bin Ziyad untuk melanjutkan penyerangan ke Andalusia dengan pasukan yang lebih besar _ ini merupakan masa pertama bagi Islam memasuki Andalusia Tariq bin Ziyad memimpin pasukan yang berjumlah kurang Iebih 7. 000 orang (ada jugs yang menyebutkan jumlahnya 12000 prang Barbar) untuk menyerbu Andalusia.

Pasukan yang dipimpinya mendarat di sebuah bukit, yang kemudian di abadikan dengan nama " Jabal Tariq " atau Jibraltar. Pasukan Tariq bin Ziyad berhasil mengalahkan Raja Roderick yang tewas dalam pertempuran itu . Kemenangan ini menjadi modal baginya untuk menaklukan wilayah lainya seperti Cordoba, Archedoba, Malaga, Elvira, dan akhiny Toledo; yakni pusat kerajaan Visigoth. Mendengar keberhasilan pasukan Islam, maka pada tahun 721 Musa bin Nusair memimpin satu pasukan menuju Andalusia melalui jalan yang tidak dilalui oleh pasukan Tariq. Pasukan bin Nusair ini melewati pantai barat Semenanjung dan berhasil menakuukan kota- kota yang di lewatinya, antara lain Sevilla dan Merida pasukan Musa bin Nusair bertemu dengan pasukan Tariq bin Ziyad di kota Taledo.

Dengan bergabungnya dua pasukan , daerah yang ditaklukan semakin meluas sampai keutara seperti Saragosa, Terroofona , dan Barcelona. Setelah daulat Bani Umayyah di Damascus di tumbangkan Daulat Abasiyyah berdiri dengan khalifah pertama Abu Abbas as- Saffah. ketika itu juga keamiran di Andalusia berada di tangan Yusuf bin Abdurrahman al - Fihr (129 H/ 746 M- 138 H/ 756 M) dari Bani Muzar. Salah seorang dari keluarga Umayyah yang bemama Abdurrahman bin Mu'a wiyah bin Hisyam bin Abdul Malik , yang bergelar Abdurrahman ad- Dakhi, selamat dari penangkapan Dinasti Abbasiyah yang selalu mengejar-ngejar keturunanan Umayyah, bahkan berhasil memasuki Andalusia, setelah berhasil menghadapi berbagai tangtangan, antara lain penguasa Andalusia pada waktu itu, akhirnya Abdurrahman bin Mu awiyah berhasil mengambil alih kekuasaan.

Abdurrahman bin Mu'a wiyah memasuki wilayah Andalusia ini antara lain karena adanya perselisihan di antara kabilah-kabilah, khususnya masalah intern kabilah Arab dari Qais dan Yaman yang tidak setuju terhadap kepemimpinan Yusuf bin Abdulrrahman al-Fihr. Abdulrrahman bin Muawiyah juga mendapat dukungan dari warga Umayah yang telah tinggal di Andalusia di samping dari dukungan Yaman yang sedang bertikai dengan Yusuf din Abdulrrahman at- Fihr. Abdulrrahman III menjadikan Andalusia suatu kekhalifahan dengan khalifah yang bergelar Amirulmukminin (912-1031). Gelar khalifah selanjutnya di pergunakan oleh pengganti - penggantinya sapai akhir masa pemerintahan Bani Umayyah. Setelah berakhinya Bani Umayyah (1031 ), Andalusia pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecit yang lajim disebut Muluk at- tawa'if (raja- raja kelompok/ golongan )

Sebagaimana munculnya dinasti- dinasti kecil di timur. Dinasti- dinasti kecil itu antara lain Bani Abbad di Sevilla, Bani Hud di Saragosa ; Bani Zun­Nun di Toledo, Bani Ziri di Granada, dan Bani Hammud di Khordoba dan Malaga . sesudah Muluk at- Tawa'if muncullah Dinasti Murabitun yang berkuasa pada tahun 1090- 1147, kemudian Dinasti Muwahhidun ( al­Muwahhidun ) pada tahun 1147- 1232, Dan selanjutnya Dinasti Bani Nasir

pada tahun 1232 - 1492 .

Ketiga dinasti tersebut di atas mencapai kemajuan di berbagai bidang mengalami zaman keemasan ilmu pengetahuan dengan berhasil memunculkan lembaga-lembaga pendidikan terkenal yang menelurkan para ilmuan ternama. Ilmu pengetahuan berkembang dengan perantaraan bahasa Arab . Orang orang Andalusia, balk muslim atau non muslim, menerima dan mempelajari bahasa Arab. Akibatnya, lahirnya beberapa ahli bahasa . diantaranya Ibnu khusuf, Ibnu al-Hajj, Abu Hasan, Ibnu Asfur, Abu Hasyyan al- Garnati, dan Ibnu Malik yang mengarang kitab a/ - Alfiyah (buku tata bahasa arab yang di susun dalam bentuk seribu bait syair) Filsuf - Filsuf besar yang lahir dalam periode ini antara lain Ibnu Tufail (w. 1185)

Yang menulis buku Hayy Ibn Yaqzan ( buku filsafat yang berisikan cerita seorang anak yang di pelihara oleh rusa filsafat akal dan wahyu ) Ibnu Bajjah (w. 1138 ) yang dalam literatur Barat dikenal dengan Avenpas dan merupakan komentaror kaya- karya Aristoteres, ahii fisika dan ahli musik karyanya yang utama adalah Tadbir al - Mutawahhid (susunan yang menyatu ), kemudian Ibnu Rusyid ( 1126 - 1198 ) yang memberikan jawaban atas serangan al-Gazali dalam bukunya Tahafut at- Tahafut (keracunan dari keracunan ), dan komentar terhadap karya Aristoteles Jami Talkhis (rangkuman yang Iengkap ). karena pengaruhnya yang besar, di Eropa rnuncul suatu aliran Filsafat yang di kenal dengan nama Averoisme.

Disamping ilmu-ilmu aqli ( ilmu yang berdasar pada penalaran rasional) berkembang pula ilmu- ilmu naqli ( ilmu yang berdasar pada Al­Qur' an dan hadis ) . Di bidang Tafsir Al- Qur `an , Andalusia melahirkan nama- nama antara lain Ibnu Ati ah (w. 546 H ) dan al - Qurtubi (w. 671 H ), dua mufasir (ahli tafsir) ini menggunakan metode penulisan at - Tabari yang dikenal dengan Tafsir bi al - Ma ` sur. Bidang hadis, terdapat para pakar seperti Ibnu Waddah bin Abdul barr, al Qadi bin Yahya al- Laisi, Abdul walid al- Baji , Abdul walid bin Rusyid , dan Abu Asim yang menulis kitab at Tuhfah (persembahan ),

Dalam bidang fikih / syariat muncul beberapa ilmuwan terkemuka . umpamanya Abu Bakar al--Qutiyah, Ibn Hazm yang menulis kitab al - Muhalla (tentang fikih ) dan al - Ihkam fi- Usul a/ Ahkam (tentang usul fiqih). Munzir bin Sa'id al- Balluti (w. 355 H ) yang pernah menjadi hakim agung di rnasa pemerintahan Abdurrahman III, dan Ibnu Rusyid dengan k &dayah al- Mujtahid (permulaan bagi seorang Mujtahid Islam bidang tasawuf, Andalusia memiliki nama- nama sepert] Irlkrtvydm' Ibnu Arabi, sufi ternama yang menghasilkan banyak karya tulis & risalah al- Futuhat al- Makkiyyah ( Penaklukan Mekah ). dan terkenai dengan pw -Wahdatul wujud ( kesatuan wujud ).

Di bidang kedokteran Andalusia juga mencapai kejayaanya. Cordoba sebagai salah satu pusat aktivitas medic telah melahirkan beberapa Ilmuwan terkemuka. Diantara Ilmuwan yang telah banyak jasanya terhadap perkembanga ilmu medis Islam ialah Ibnu Rusyd yang telah menghasilkan karya besar kitab al- Kulliyyat fi at- Tibb (tentang pilsapat ilmu kedokteran ), suatu kitab referensi yang di pakai selama berabad-abad di Eropa . di bidang obat-obat an di kenal nama-nama sebagai Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad al- Gafiqi ( w. 1165 ) dengan karyanya al Adawiah al- Mufradah (urayan tentang berbagai macam obat ) dan Abu Bakar Jakariya Yahya bin Awwan dengan karyanya yang berjudul al- fillahat ( urayan tentang berbagai macam obat ),

Dalam bidang pertanian, Andalusia sudah mengenal irigasi dan saluran­saluran air. Dengan pembangunan irigasi yang baik mereka dapat membangun kebun tebu, kapas, padi , jeruk , anggur, dan sebagainya . kemajuan dalam bidang ini membawa kemakmuran dan kesejahteraan kepada masyarakat. Karena kemajuaan ekonomi, Andalusia mampu membangun beberapa kota yang megah dan mempunyai banyak bangunan menumental. Abdurrahman III membangun kota kordoba sebagai kota pemerintahan kota Cordoba dilengkapi denga taman istana jatan-jalan Masjid, perpustakaan, perkantoran , dan lain - lain . kota termegah adalah az- Zahra yang di bangun oleh Abdurrahman III dan kota Granada . yang Cantik dan megah yang memiliki . Alhambra yang sangat terkenal di dunia . Cordoba juga terkenal dengan universitasnya. Yaitu Universitas Cordoba Universitas ini memiliki kampus yang megah y ang di bangun oleh al­Haqam II Abdurrahman III (961- 976 ).

Kemajuan di didang seni, seperti arsitektur dan desain, dapat di lihat dari keindahan Mesjid Cordoba yang di bangun pada masa Abdurrahman ad Dakhlil. Di bidang sastra, Andalusia memunculkan nama seperi Ibnu Sayidar al- Andalusi yang menulis kitab al Mujam (ensiklopedi ) dan Muhammad bin Hani yang menulis al-Andalusia ( uraian tentang Andalusia) . Di bidang sejarah di kenal Ibnu Qutiyah (w. 927 ) , penulis buku Ta' rikh iftitah al -andalis yang berisi sejarah penaklukan Andalusia sampai mass awal kekuasaan Abdurrahman III .,

Dalam bidang geografi, dari Andalusia muncul, nama-nama cemerlang seperti Ibnu Abdul Aziz al Bahri (w, 1094 ). Dengan karyanya al - Masalik wa al- Mamalik ( tentang geografi ), al-Idrisi (1100- 1166 ). Abdul Husain Muhamad bin Ahmad al- Kinani bin Jubair ( 145) . dengan karyanya Rihlan (suatu perjalanan ), dan Muhamad Al- Mazini (1080- 1170) Seorang ahli geografi terkenal .

Dalam bidang astronomi, terkenal nama- nama az- Zarqali ( 1.1029 ). Di toledo Abdul Qasim Maslama bin Ahmad al- Farabi al- Habib al- Majriti ( w. 1007 ) di Cordoba yang merupakan terkemuka muslim Andalusia angkatan pertama. Selain itu, muncul Jabir bin Aflah Abu Muhammad (w. 1204 ), di Sevilla yang menulis kitab al- Hai'a , yang membuat angka -angka trigomometrik yang masih di gunakan sampai sekarang, dan Nuruddin Abu Ishaq al- Bitruji (w. 1204 ). yang menulis kitab Al- Hai'a, . karya- karya para Astronom muslim ini telah banyak menyumbangkan istilah yang berasal dari bahasa Arab ke dalam pembendaharaan ilmu Astronomi dan matematika.3

Andalusia di bawah kekuasaan Islam mengalami kemajuaan pesat dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan sehingga menjadi tujuan mencari ilmu di Arab pertengahan. Kemajuan tersebut secara berangsur- angsur pudar dan akhirnya hilang yang tertinggal adalah peninggalan masa lampau yang gemilang. Munculnya dinasti-dinasti kecil mengakibatkan disintregrasi kekuatan islam Andalusia. Mereka sating berperang bahkan di adu domba oleh pihak ke tiga. Sementara dinasti dinati kecil sating berperang, orang kristen menyatukan diri untuk menaklukan orang Islam dan mengusirnya dari Andalusia.

Secara politik, kekuatan Islam berakhir pada abad ke, 15 yang di tandal dengan kekalahan demi kekalahan kerajaan Islam. pada tahun 1469 kerajaan Ferdinand dari Arogon dan kerajaan isabella dari Castilia bersatu menyerang kekuatan Islam di bawah kekuasaan Dinasti Ahmar di Granada yang terkenal dengan Alhamra. Pada tanggal 2 Januari 1492 / 2 Rabiul awal 897, Ibu kota Granada. di kepung dan di takiukan oleh penguasa Kristen . Setelah orang Kristen menguasai orang Andalusia, gerakan Kristenisasi di laksanakan, yaitu memaksa orang menganut kembali Agama Kristen Kardinal Ximenerde Cisneros menyingkirkan semua buku Arab. yang menguraikan Agama islam dan membakarnya pada tahun 1556 , Raja philip II ( Raja Spanyol 1556- 1598) mengumumkan suatu Undang- undang agar kaum muslimin yang masih tinggal di Andalusia membuang ke percayaan , bahasa adat istiadat dan cara hidupnya. Pada tahun 1609 Raja Philip III 1598- 1621 ) mengusir secara paksa semua kaum muslimin dari Andalusia atau mereka di hadapkan kepada dua pilihan, masuk Kristen atau keluar dari Andalusia .

Henri Pirenne berpendapat bahwa penaklukan orang-orang Arab atas Afrika Utara dan Spanyol telah mengubah pola-pola perdagangan lama. Dikemukakannya juga bahwa penaklukan tersebut telah mengakibatkan Eropa Barat lebih melihat ke utara ketimbang laut tengah.4 Lebih lanjut, Watt mengemukakan bahwa orang Arab telah memberi sumbangan mereka dalam hal teknik pelayaran kepada orang Eropa. Peta laut yang merupakan alat penting untuk pelayaran telah dikembangkan dari perpetaan Islam oleh orang-orang Genoa dan yang lain-lainnya. Dubawah lindungan seorang sarjana Arab dari Afrika Utara dan Cordova, al-Idris (1100-1166), telah menghasilkan gambaran dunia yang lengkap seperti yang telah dikenal saat ini. Dari Orang Arab pula orang Eropa memperoleh pengetahuan geografis yang lebih luas dan memadai.5 Leih lanut pula Wattt menguarikan, sumbangan orang Arab bagi peradaban Barat antara lain sistem pertanian, dan irigasi (perairan).

Pelacakan historis tersebut menjadi sangt logis bahwa peradaban. Barat dibnagun dari rahim fase sejarah Islam menduduki Andalusia. Secara sosial politik, Islam dalam posisi yang sangat kuat untuk melakukan ekspansi dan secara peradaban dalam Puncak keemasaannya. Proses ekspansi inidiikuti dengan transfer of science dari kaum muslimin ke penduduk Andalusia saat itu. Kebudayaan terbuka dan dermawan ilmu yang dibangun oleh kaum Muslimin saat itu, menjadikan setiap kelompok, daerah, atau suku bangsa sangat terbuka lebar menimba ilmu pengetahuan dari kaum Muslimin di Andalusia. Termasuk banyak orang-orang Eropa yang banyak menimba ilmu pengetauan dari Muslim Spanyol. Ketika mereka sudah kembali ke daerah masing-masing banyak yang mengembangkan ilmu pengetauan tersebut di daratan Eropa.

Roda sejarah pun berputar, ketika kekuatan sosial politik makro umat Islam seat itu mengalami keruntuhan, make seiring dengan itu jatuh pula tradisi peradaban yang telah dibangun cukup lama di berbagai bidang ilmu tersebut. Dalam kondisi ini Eropa terus memacu etos saintis yang telah didapat kaum Muslimin Spanyol. Akhirnya, Eropa Barat berhasil melesat menjadi bangsa termaju dalam sains dan teknologi, dengan bermodal dari akar keilmuan umat Islam dan menggilas dunia muslim. Proses senjata makan tuan pun terjadi. Kaum muslimin yang membuat sains dasar, orang Eropa yang mengembangkan, dan Akhirnya Eropa pun membunuh kaum muslimin. Wallahu `a/am bissawab.

Daftar Pustaka

Nurcholish, Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Paramadina, Jakarta, 1996 Watt, R. Montgomery, Islam dan Peradaban Dunia, Gramedia, Jakarta, 1995 Tim 1AIN Jakarta, Ensiklpoedia Islam, Jakarta., 2000.

Selasa, 03 Maret 2009

TERPENJARA DITEPI EKSISTENSI SPIRITUAL


(Sebuah Kritik untuk Penulis)

Oleh : Sang Perenung

Tajam lidahku menggoreskan luka,,,

Tingkahku merobek sutra kecintaan-Mu,,,

Ingkarku menerjang regulasi yang telah terpahat !

Kotor...sungguh kotor dan menjijikan ku tatap wajahku,,,

Didepan cermin kehidupan

Pantas, Helaan nafas spiritual ku tersendat,,

Sesak,,,sungguh sesak,,,

Mengikat hati nuraniku,,,,

Hembusan angin kesombongan

Desiran ombak keangkuhan

Merobohkan dinding-dinding spiritualitas

Virus-virus hedonisme-opportunisme

Bak jeruji besi berbaris tegak

Memenjarakan etika-sosial transcendental

Yang menghiasi cermin kehidupan

Gemerlap tarian iblis yang mengelilingi langkahku

Sebagai ‘du contrac social’ di masa primordial

Sayup-sayup terdengar gelak tawa iblis-iblis kecil tersipu malu

Menghanyutkan jiwaku dalam lamunan

Ya Rabb,,,

Tuntunlah jiwaku menuju cahaya suci-Mu

Jernihkanlah fikiranku,,,,

Menuju samudra keilmuan-Mu

Senin, 02 Maret 2009

KERA YANG SOMBONG

Oleh : Fikri Azhari Fuadilah

Suatu hari Kuku ayam mengajak bermain pada Keke kera. Kuku berkata :”Ke, kita main yuk, Keke menjawab dengan sombongnya :”Tidak ah…,bermain denganmu bosan, ayam jelek!! Kuku kemudian menjawab dengan penuh amarah :”Tidak ! aku tidak jelek !!.

Awas ya ! sewaktu-sewaktu nanti aku akan membalasmu, Gerutu Kuku sambil ngeloyor meninggalkan kera. Coba aja, kalo bisa …,timpal Keke.

Setelah kejadian itu Kuku langsung ke rumah Bebi bebek dan menceritakan kejadian yang telah dialaminya.

Kemudian, Bebi merasa sedih, maka bebi punya siasat, Bebi berbisik pada Kuku Ayam bahwa bagaimana kalau kita pura-pura mengundang Keke Kera dalam satu pesta kebun, Kuku menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju, okelah! Yang jelas sakit hatiku terobati”, ujar Kuku Ayam meyakinkan dirinya, kalau rencananya itu bakalan berhasil dan dirinya merasa puas.

Singkat cerita, Bebi pulang menemui Kuku, dia menceritakan kalau dirinya telah datang ke rumah Keke dan mengundang makan malam di rumahnya

Hai !teriak Keke Kera kepada Bebi dan Kuku Ayam, yang sedang asyik ngobrol, Hai! Silahkan Ke, masuk … “ jawab Bebi menerima tamunya, bersamaan dengan kaki Keke melangkah waktu itu pula kakinya terperosok ke dalam lubang yang memang sudah disediakan untuk Keke. Tapi karena Keke seekor kera, dengan lincahnya dia meraih akar pohon kuat-kuat dan apa yang terjadi, malahan Kuku dan Bebi sekarang yang terancam bahaya, “Hei! Kalian ternyata bukan mengundang sembarang mengundang, ya…, tapi mau mencelakakan aku, hm… sekarang waktunya kalian semua merasakan akibatnya, dengan cepat Keke mengikat Kuku dan Bebi jadi satu, setelah itu Keke membawanya ke pinggir sungai dan dinaikan keatas perahu, “Makanya, jangan macam-macam sama aku, siapa dulu… Keke, nga ada yang bakalin ngalahin”, “huh… dasar sombong,kalau sudah sombong tetep aja sombong”, gerutu Bebi, “ eh… sudah …sudah…, mendingan kita pikirin bagaimana cara lepas dari ikatan ini” ajak Kuku.

“Oh … iya …ya, gini aja, gimana kalo aku mengajak Keke ngobrol dan kamu mematuk-matukan paruhmu ke ikatan ini dan setelah itu ke perahu, nanti kalao sudah berlubang, pasti perahu ini terggelam bersama Keke yang sombong itu dan kita terbang, gimana ?” Iya … iya… setuju “ sahut Kuku.

“Hei !, ada apa bisik-bisik, mau kabur ya…?, “engg..gak, kita lagi musyawarah bagaimana kalao kita kamu bebasin dan kita akan membawakan makan kesukaanmu yang paling enak”, kata Bebi mulai mengatur siasat, “makanan enak?ah… itu hanya untuk menipuku saja, tapi … boleh juga tuh…!”, baik kalao gitu …, tapi ikatanmu itu tidak akan aku buka, caranya aku akan menambah tali ikatannya, sehingga kalian tidak dapat kabur, ha…ha…ha….!!kata Keke sambil tertawa, bersamaan itu ternyata Kuku telah berhasil melepaskan ikatannya sekaligus melubangi perahu, begitu Kuku memberi isyarat sama Bebi, keduanya langsung “Bbeeuurrr…..” terbang dengan sekuat tenaga takut ditangkap Keke lagi.

Sementara Keke dengan susah payahnya mencari sesuatu agar tidak tenggelam, tapi apa yang terjadi, karena perahu sudah ada ditengah-tengah sungai dan jauh kesana kemari, akhirnya nasib Keke malang, dirinya tenggelam bersama kesombongannya. TAMAT


MEMBELI KUCING DALAM “ KANTONG PLASTIK “

By : Yusep Solihudien

Tanggal 5 Juli 2004 nasib perjalanan bangsa Indonesia akan ditentukan oleh suara yang diputusakan hasil olah nurani dan akal rakyat Indonesia. Sudah lima Presiden memimpin bangsa yang sudah berusia 56 tahun. Sudah cukup tua umur bangsa ini. Di usia ini rasanya cukup untuk mengukur kesuksesan dan kegagalan hidup seseorang. Namun, sebagai rakyat rasanya kita hanya melihat bahwa usia ini justru belum menunjukan kesuksesan. Ibarat seorang tua di usia 56 tahun sakit-sakitan, fakir dan miskin, serta tidak berdaya.

Problematika Bangsa

Kekayaan bangsa yang melimpah ruah di lautan dan daratan sampai digelari jamrud khatulistiwa bahkan Koes Plus menyatakan, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, belum berpihak untuk rakyat. Malahan bangsa kita mempunyai segudang prestasi kebobrokan bangsa. Kita masih tercatat sebagai negara yang prestasi korupsi masuk 5 besar dunia. Kebocoran anggaran negara sampai 30 % yang disinyalir BPK, dan semakin banyaknya anggota DPRD dan kepala daerah yang digusur ke meja hijau, merupakan indikasi kuat betapa korupsi benar-benar merajalela. Lucunya lagi, hampir sebagian besar para koruptor dan konglomerat hitam bisa bebas berkeliaran sambil tersenyum, tetapi pencuri ayam dan jemuran sampai benjol malah dibakar massa dan kakinya ditembak Polisi. Hukum tidak bisa menyentuh orang kaya dan memiliki kekuasaan, hukum hanya untuk orang-orang miskin.

Kemiskinan sebelum krisis ditambah kemiskinan pasca krisis ekonomi semakin melambung tingginya deretan orang-orang miskin bangsa Indonesia.Kondisi ini menjadi bom waktu yang meledak saat ini. Angka pengangguran pun membengkak. Ratusan ribu orang mencari kerja keluar negeri, walau dengan illegal dan skil minim. Kondisi ini membawa epek sosial luar biasa, angka kriminalitas, kerusuhan dan konflik sosial pun membumbung tinggi, dan menjadi hiasan berita sehari-hari kita. Bangsa kita sangat sensitif, bagaikan rumput kering yang dilempar puntung rokok pun bisa kebakaran. Seiring dengan itu, angka kekurangan gizi anak-anak generasi penerus bangsa kita pun semakin membengkak. Rakyat tidak mempunyai kekuatan ekonomi untuk membeli makanan dan minuman bergizi. Lost generation menjadi ancaman besar bagi kelanjutan negeri ini.

Limbah globalisasi ( westernisasi ) informasi menjadikan bangsa kita kehilangan identitas dan jati diri budayanya. Betapa liberalisasi informasi pornograpi dan porno aksi yang didalamnya tertancap budaya kebebasan (librealisme) dan kebahagian (hedonisme), telah memberikan investasi besar bagi semakin tingginya angka pemerkosaan, pergaulan sek bebas (perzinahan), angka aborsi, dan penyakit HIV AIDS. Sisi lain, kualitas pendidikan kitapun masih mencari ramuan-ramuan jitu bagaimana format yang pas bagi pendidikan bangsa Indonesia. Banyak hancurnya bangunan SD, meningginya angka putus sekolah, semakin banyaknya angka anak sekolah bunuh diri, komersialisasi buku di sekolah, banyaknya sekolah yang kekurangan guru, bongkar pasang kurikulum, lemahnya penguasaan bahasa asing, kontroversi UNAS, dan segudang kelemahan pendidikan kita, merupakan deretan kebobrokan pendidikan kita. Akibatnya bisa ditebak, persaingan sumber daya manusia dengan SDM lua negeri banyak mengalami kekalahan. Tenaga kerja SDM kita sebagian besar mengisi dapur, garasi, dan kebun.

Ketidakmandirian dan ketidakberdayaan ekonomi dan politik terhadap intervensi asing masih terlihat dengan kasat mata. Betapa kita tidak sanggup untuk menghadapi tekanan ekonomi asing sehingga aset-aset strategis bangsa diobral dijual ke tangan asing. Belum lagi, kita harus mengemis kenegara-negara donor untuk pinjem duit –ngutang- dengan bunga tinggi dan tentu dengan persyaratan yang ketat untuk keuntungan negara donor. Akhirnya, kita menyaksikan kekayaaan hutan, laut, dan kandungan bumi Indonesia dikeruk habis-habisan oleh kapitalisme asing. Hutang negeri kita pun semakin membumbung tinggi, sampai jumlah hutang Indonesia dibagi jumlah penduduk kita, setiap orang Indonesia mempunyai hutang 7 juta. Belum lagi kita melihat, nasib buruh-buruh pabrik kita sangat memprihatinkan berjuang membiaya hidupnya bahkan ribuan kena PHK. Dengan sangat telanjang, kita pun menyaksikan proyek terorisme asing merambah ke negeri kita. Betapa sangat keukeuhnya polisi kita menahan Abu Bakar Basyir yang bukti-buktinya belum jelas dan kabur

Pilihan Rasional VS Mitos

Dari segudang permasalahan bangsa ini muncul pertanyaan, kira-kira karakter Presiden seperti apa yang akan mampu melesatkan bangsa ini menjadi negeri maju ? Namun saaat ini sedang terjadi perang imag dan citra lewat media, semua bisa dipoles indah, merakyat, dan moralis. Dalam sebuah iklan Capres tertentu, dengan memakai bahasa ABG menojolkan “kapan lagi kita punya presiden keren ”. Capres lain supaya dikesani indah dan dekat rakyat digambarkan membantu nelayan, petani, pedagang dan lain. Bahkan ngadadak kampanye pun pergi ke pasar-pasar ngobrol dengan pedagang, petani dan nelayan. Capres lain memamerkan konon segala keberhasilan kepemimpinannya. Padahal ketika ia sedang menjadi pejabat jarang-jarang mengunjungi pasar tradisonal, petani dan nelayan. Tak ketinggalan terjadi perang fatwa untuk kepentingan Capres. Para tim sukses sedang adu ajian untuk memoles capres dan cawapresnya terutama dengan media televisi. Yang utama, bagaimana memikat hati rakyat dengan memanpaatlam segala mitos dan ikatan emosional rakyat yang dimilikinya.

Pilihan rasional adalah sebuah pilihan yang ditimbang-timbang dengan akal pikiran yang matang dan dalam tidak hanya mengandalkan sentimen emosional semata. Dalam menentukan capres yang pas akan terjadi perdebatan sengit. Namun, diantara hal yang harus dimiliki oleh Capres adalah mempunyai kriteria dasar. Dalam mimpi saya, ia yang pertama haruslah mempunyai sipat dan track record jujur. Kejujuran akan menjadikan pemimpin untuk secara terbuka, tulus, dan ikhlas menjelaskan segala masalah pembangunan bangsa dan dialog terbuka dengan rakyatnya. Kedua, sipat berani. Jiwa keberanian akan menjadikan pemimpin ini berani untuk memberantas dan menggebug segala jenis kemunkaran bangsa tanpa pandang bulu. Ia cukup berani mengambil resiko apapun asal itu untuk kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran rakyatnya.

Ketiga, sipat cerdas. Pemimpin harus mempunyai kualitas intelektual di atas rata-rata. Sehingga ia mampu menghasilkan ide-ide brilian, kreatif, inovatip dan progresif bagi kemajuan bangsa, serta mampu mandiri dan memfilter serta menganalisis formula kebijakan. Era politik baru dalam sejarah Indoensia dalam memilih presiden, secara teori kita tidak lagi membeli kucing dalam karung, tetapi dalam kantong plastik yang transparan. Akan tetapi secara praktis, kita harus sekuat tenaga mengerahkan akal pikiran dan nurani untuk meneliti kualitas “kucing” dalam pemilu terbuka. Kita jangan tertipu dengan manipulasi media televisi yang banyak mengobral mitos-mitos para capres. Sebagai yang beragama Islam kita harus meminta petunjuk Allah SWT melalui shalat istikharah untuk menjatuhkan pilihan calon pemimpin kita. Semoga kita bisa memadukan kekuatan akal pikiran, nurani, dan petunjuk Allah untuk menjatuhkan pilihan Capres kita. Wallahu ‘alam bissawab

NASIB PURWAKARTA PASCA PILKADA

NASIB PURWAKARTA PASCA PILKADA

( Refleksi Philosofis Imaginer )

Oleh : Yusep Solihudien

( Ketua STAI DR.KHEZ. Muttaqien )

Lengsernya Soeharto tahun 1998 merupakan pintu gerbang untuk masuknya kebebasan politik yang tiada taranya, setelah 32 tahun sudah bangsa dikekang dengan kekuatan rezim otoriter Soeharto. Reformasi menjadi sebuah idola politik baru untuk mengekspresikan kebebasan politik yang sangat hebat. Transisi demokrasi dari tahun 1998 sampai 2007 telah menghasilkan 4 presiden yang konon merupakan produk kebebasan politik. Konon ”Klimak politik” dari era reformasi adalah terjadinya pemilihan Presiden, Gubernur dan Bupati / Walikota secara langsung. Malah mungkin kita bisa disebut sebagai sebuah negara ”super demokrasi”, bayangkan oleh kita masyarakat yang di pedesaan melakukan pemilihan langsung yang sangat melelahkan dan panjang. Masyarakat kita memilih langsung ketua RT, RW, Kepala Desa, Bupati / Walikota, pemilihan anggota Legislatif, DPD, dan pemilihan Presiden. Ada sekitar tujuah lapis pemilihan langsung yang dilakukan oleh masyarakat kita.

Jika demokrasi diukur dengan pemilihan langsung pemimpinnya, maka jelas kita negara yang paling nomor wahid dalam demokrasi, sehingga bisa mengalahkan ”embahnya demokrasi” (Amerika dan Eropa). Konon katanya, di negara embah demokrasi pemilihan langsung hanya sampai di jenjang Gubernur saja. Tapi apakah demokrasi telah berkorelasi positif dengan kesejehteraan rakyat. Jawabannya, tidak. Demokrasi tidak menjadi garansi untuk terciptanya kesejahteraan. Katakanlah konon pemilihan desa yang dipilih langsung oleh masyarakat sudah berjalan puluhan tahun, namun apakah masyarakat desa telah bergerak ke arah sejahtera. Tentu tidak, masyarakat di pedesaan masih berenang dalam lumpur kemiskinan, dekadensi moral, kekurangan gizi, pengangguran dan keterbelakangan pendidikan serta infrasturktur desa yang rusak.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan radikal mengapa demokrasi di jenjang desa sudah hebat, namun tetap masyarakat dalam kubangan penderitaan. Untuk menjawab hal tersebut, kita terpaksa harus meminjam sedikit teori. Konon menurut teori, demokrasi akan berkualitas baik, jika ditunjang oleh kondisi ekonomi yang stabil dan baik dan tingkat pendidikan masyarakat yang baik pula. Prasyarat teoritis politik ini belum terpenuhi di negeri kita, malah sangat amburadul. Dalam kondisi ekonomi yang super krisis, sembako mahal dan pendapatan masyarakat semakin rendah, akan muncul rumusan bagaimana caranya dapat uang sebanyak mungkin untuk memperpanjang kehidupan. Dalam kondisi tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, masyarakat terjebak pada ”sinetron politik” mudah dibohongi, agitasi, adu dan domba politik, silau oleh simbolitas politik, mitos politik, dan gampang menerima embel-embel materi, bahkan mistis politik sekalipun. Dua Prasyarat politik itu merupakan mayoritas yang ada di masyarakat kita. Maka ada beberapa kemungkinan politik yang terjadi dengan kondisi tersebut.

Pemilihan langung Desa, Bupati/Walikota, Gubernur, DPRD, DPR, DPD, dan Presiden telah menyedot anggaran pemerintah puluhan trilyun, belum lagi sang calon harus siap menggelontorkan untuk Cost Politik dan Money politik”. Seorang kepala Desa bisa menghabiskan puluhan juta bahkan lebih hanya untuk menjadi kepala desa di kampungnya. Seorang yang ingin menjadi calon Bupati dan Wakil Bupati harus menyiapkan uang untuk bayar ”tiket politik” melalui partai politik, uang untuk pelumas mesin-mesin partai, uang untuk garansi politik dengan berbagai stakeholders, uang untuk biaya kampanye, untuk membayar saksi pemilu, serangan fajar (money politik), dan kalau menang harus ada uang bonus untuk tim sukses. Calon harus menyiapkan anggaran sampai puluhan miliyar rupiah untuk menyiapkan diri dalam medan pilkada.

Masalahnya, bagaimana caranya calon bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Ada beberapa kemungkinan, pertama memang calon sudah kaya sebelum mencalonkan diri. Calon ini akan lebih leluasa untuk bergerilya politik dengan kekuatan uang yang dimilikinya. Kedua, calon memang kondisi hartanya pas-pasan, sehingga bagi calon yang incumbent bisa dengan leluasa numpang beken lewat APBD dengan cara mark up atau korupsi sekalipun. Bagi calon yang tidak ada kuasa, maka ia bisa mengumpulkan para pengusaha untuk ”patungan politik” atau utang piutang dengan garansi proyek-proyek APBD, jika dirinya menang.

Selepas calon menang dalam pertarungan Pilkada, ia akan menjadi Bupati untuk empat tahun kedepan. Ada prediksi refleksi imaginer yang akan terjadi jika Bupati / Wakil Bupati yang jadi tidak mempunyai ”rem keimanan dan akhlak ”. Karena untuk membayar utang piutang politik dengan mengandalkan gaji Bupati atau oprasional Bupati secara murni dan benar tidaklah akan cukup. Maka tahun kesatu dan kedua bagaimana caranya membayar utang piutang pilkada kepada para pengusaha, dengan beberapa modus antara lain dengan mark up proyek, prosentase proyek, dan memeras para pejabat kepala Dinas. Tahun ketiga dan keempati harus mencari lebih untuk kekayaan pribadi dan persiapan untuk pilkada berikutnya. Kemungkinan untuk skenario ”kezaliman politik ”ini akan mulus jikalau ditunjang oleh kekuatan mayoritas politik di DPRD dan lemahnya kontrol kekuatan ekstra parlemen ( gerakan mahasiswa, LSM, Pers, dan ulama).

Belum lagi terbuka peluang untuk semakin gonjang ganjing politik penyimpangan-penyimpangan APBD periode yang lalu. Lagu-lagu manis yang dinyanyikan pada saat kampanye Pilkada yaitu mensejahterakan rakyat, pendidikan gratis, kesehatan gratis, perbaikan pertanian dan perkebunan, pemberian modal, perbaikan infrastrukutur, perluasan lapangan kerja, dan lain-lain merupakan rayuan manis yang selalu dikumandangkan di hadapan rakyat. Lagu-lagu itu hanya tinggal kenangan indah waktu kampanye.

Agenda-agenda perbaikan Purwakarta seperti penataan pendidikan, penataaan pelayanan kesehatan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan usaha kecil, perbaikan infrasturktur, penarikan investor, pembukaan lapangan kerja, peningkatan gizi masyarakat, penataan pasar tradisional dan tata ruang, serta segudang agenda pembangunan lainnya telah menanti untuk ditingkatkan ke arah yang lebih baik. Kalau Pimpinan Purwakarta yang sekarang menjadi pemenang sibuk terlarut untuk ” membayar piutang dan kekayaan pribadi dan golongannya” serta menari-nari diatas penderitaan rakyat, maka ia berarti telah memilih ”gerak sejarah kehancuran daerah ”. Karena Gusti Allah bersabda, ” Apabila aku bermaksud hendak membinasakan suatu kaum maka aku perintahkan pemimpin-pemimpin itu untuk taat, tetapi mereka ingkar, maka sungguh telah berlaku suatu keputusan dan kami hancurkan dengan hancurnya”.

Seluruh kekuatan elemen umat telah diperintahkan Gusti Allah dan kangjeng Nabi Saw. untuk melakukan ”amar ma’ruf nahyi munkar politik” dengan mempertajam pengawasan dan menggalang kekuatan ”ekstra parlemen” agar terwujud ”watawa shaw bil haq dan watawa shaw bil Shabar” yang tulus, solutif, dan sinergis. Tentu saja, kekuatan kritik harus diniatkan rasa cinta dan ikhlas pada pimpinan agar tidak tergelincir menjadi pemimpin yang zalim. Jika amar ma’ruf politik itu mandeg dan tumpul, maka kita harus siap-siap menghadapi ”parade dan pameran bencana/musibah ” yang mungkin akan menimpa kota tercinta ini. Semoga tulisan ini menjadi inspirasi bagi kita semua untuk berbuat yang terbaik dan terindah bagi Purwakarta. Wallahu ’alam Bissawab.