Oleh : Yusep Solihudien
( Ketua STAI DR.KHEZ. Muttaqien )
Hingar bingar Pilkada usai sudah, sang Bupati terpilih kini telah terlahir dengan legitimasi minimal dari rakyat. Ia tidak menang mutlak. Malah ia kalah mutlak di pusat kota, dan menang tipis di daerah-daerah luar perkotaan. Berbekal legitimasi suara rakyat yang sangat minimal inilah sang Bupati baru bergerak memimpin Purwakarta. Kemenangan minimalis ini seharusnyai memberikan hikmah bagi Bupati untuk lebih mawas diri dan kontrol diri serta melakukan politik akomodatif didalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan pembangunan Purwakarta. Tulisan ini lebih bersifat refleksi spekulatif philosofis, tidak memvonis pihak tertentu. Hanya spekulasi-spekulasi implikasi logika berpikir, yang mudah-mudahan hal itu tidak terjadi di lingkungan daerah yang kita cintai ini. Quo vadis sebuah kata yang muncul ditengah kegalauan dan kegamanagan ditengah situasi yang serba sulit, yang artinya “hendak kemana “ dalam istilah arab sering kita dengar “faaena tadzhabun “
Secara umum, ada beberapa kemungkinan pragmatis selepas seseorang terpilih dalam suatu hajat besar Pilkada. Bahwa hajat besar Pilkada memakan biaya yang tidak sedikit, sampai bermilyar-milyar. Darimana ia harus mendapatkan cost and money politic itu. Maka jawabannya, harus mengumpulkan dan meminjam dari pengusaha-pengusaha atau pihak yang peduli untuk menjadi tim sukses dirinya. Hutang tetaplah hutang, rumusan who get what pun menjadi paradigma dasar pasca pilkada. Bagaimana membayar pinjaman-pinjaman biaya pilkada itu, maka biasanya sudah ada beberapa cara untuk melunasi itu antara lain dengan garansi pembagian-pembagian proyek APBD, bahkan janji digelontorkannya bantuan-bantuan sosial Pemda. Atau bagi tim sukses “oknum birokrat “ yang bermain cantik dibelakang layar dalam bentuk pengerahan massa, bukan dalam bentuk pinjaman materi, maka ia akan dijanjikan “ditempatkan diposisi yang basah “ di jajaran birokrasi. Jika dengan tiga cara tersebut masih juga belum lunas, maka biasanya melakukan “depolitisasi” lembaga-lembaga daerah non pemerintah entah itu KPU, Panwas, KNPI, Dewan pendidikan, Ormas-ormas,LSM, dan lain-lain, seolah-olah lembaga-lembaga itu menjadi “kompensasi politik” dan “reunian penampungan tim sukses” yang lalu, serta menjadi “bemper-bemper politik”.
Disinilah titik krusial dan dilematisnya dalam menetapkan arah pembangunan, satu sisi beliau harus segera melunasi utang piutang politik, sisi lain ia harus segera merealisasikan janji-janji manis kampanyenya. Ditengah kondisi internal dilematis dan krusial ini, beliau menggulirkan beberapa kata yang konon menjadi entah menjadi moto atau entah menjadi visi antara lain “Digjaya Purwakarta” dan “Purwakarta Berkarakter “. Pernyataan ini bagus-bagus saja sebagai identitas, namun masalahnya adalah apakah moto-moto tersebut dipahami oleh masyarakat dan birokrat serta dapat terukur dan dapat diterjemahkan indikatornya atau tidak. Ditengah trend pembangunan yang bottom up, beliau melakukan top down menghujani masyarakat dan birokrat serta legislatif dengan kata-kata tersebut di atas. Oleh karena itu perlu ditelaah secara dalam, baik akademik maupun normatif, apakah pernyataan-pernyataan itu adalah moto, visi atau pernyataan pribadi bupati. Jika itu merupakan moto Kabupaten, harus melalui payung hukum yang benar, apalagi kalau itu menjadi sebuah visi Purwakarta.
Jika itu merupakan visi maka harus ditelaah dan dianalisis beberapa indikator “digjaya” dan “berkarakter “, serta payung hukum yang tegas dan lugas agar dalam implementasi pembangunannya benar-benar mengarah dan fokus untuk pencapaian dua kata tersebut. Belum lagi kita minta pandangan stakeholders pembangunan tentang disepakati dan tidaknya moto atau visi digjaya dan berkarakter itu. Jika itu telah ditetapkan, muncul lagi pertanyaan dasar dari pandangan kritis itu, apakah sembilan langkah ngawangun nagri raharja itu merupakan penerjemahan dari makna “digjaya “ dan berkarakter” itu. Apakah dengan sembilan langkah itu akan menjadi kepastian dan garansi akan tercapainya Purwakarta berkarakter dan digjaya Purwakarta.
Secara konseptual, sembilan langkah ini cukup ideal dan bagus untuk Purwakarta ke depan, namun yang perlu disiapkan terlebih dahulu adalah komitmen politik dan pembangunan itu selaras dengan denyut nadi keinginan masyarakat saat ini. Apakah sembilan langkah nagwangun nagri raharja ini akan dilaksanakan sekaligus, pertahun dua langkah atau tiga langkah, atau bagaimana. Seberapa kuat APBD kita memback up sembilan langkah tersebut, yang kalau kita lihat proyek infrastruktur dalam sembilan langkah tersebut “proyek mercusuar”’ misalnya pengembangan jalat hotmik, listrik, jalur tembus, pengembangan air bersih, irigasi pedesaan, pola integrasi kehutanan, pengairan, perikanan, pertanian, peternakan dan pariwisata, belum lagi proyek revoasi bangunan tua, situ buled, alun-alun, pasar tradisional, serta penyiapan tanah industri. Pembangunan puskesmas rawat inap di seluruh Kecamatan akan menyedot APBD yang sangat luar biasa besar. Proyek-proyek infrasturktur sembilan langkah ini akan memakan biaya dari APBD yang sangat besar.
Belum lagi kita berbicara non infrasturktur fisik, sektor pendidikan seperti pendidikan gratis tingkat SLTA bagi masyarakat miskin, pembebesan biaya pembelian buku sekolah dan pengembangan kurikulum baca tulis al-Qur’an. Sektor ini jelas akan menyedot anggaran yang luar biasa besar dan ini harus berlaku selama lima tahun kepemimpinan, karena ini biaya pendidikan siswa tidak mampu dan pembebebasan biaya pembelian buku harus dikeluarkan setiap tahun. Jumlah siswa tidak mampu akan semakin membengkak tiap tahun akibat terpaan tsunami krisis ekonomi global dan semakin tingginya biaya hidup. Demikian pula dengan program pelayanan KTP, KK dan akta kelahiran gratis tanpa pandang bulu, akan sangat menyedot biaya APBD yang sangat besar dan trend anggarannya akan pasti terus meningkat. Sementara APBD kita sangat super terbatas, apalagi konon APBD Purwakarta tahun 2009 konon mencapai defisit 35 miliyar, Belum lagi adanya ancaman gubernur akan mencoret APBD yang tidak mengalokasikan anggaran pendidikan 20 %. Ditambah beberapa hal yang sulit dalam hitungan prediksi anggaran misalnya, bencana alam, krisisi ekonomi glonal, trend kotemporer kebijakan nasional, dan trend kontemporer kebijakan pemerintah propinsi yang terkadang mempengaruhi keajegan APBD kita.Belum lagi kita bebricara tentang pengerjaan proyek yang rendah kualitasnya akibat banyaknya pembagian prosentase ke berbagai pihak.
Sisi lain, masyarakat kita semakin terhimpit, tergencet, dan terlibas dampak-dampak eksternal, trend putus sekolah semakin meningkat, trend kemiskinan semakin melonjak tajam, angka pengangguran semakin melesat tinggi, trend gizi buruk dan kematian ibu dan anak akan semakin menggunung. Sederat reflesksi ini bukan bermaksud menularkan pesimisme bagi pembangunan Purwakarta ke depan. Namun, justru “parade kritis” ini sebagi bentuk kasih sayang seorang warga kepada pimpinannya agar, sang pimpinan semakin amanah, hati-hati, arif, bijaksana, istiqomah, serta mengembangkan dialog terbuka dengan berbagai stakeholders sehingga kebijakan yang dilahirkan tidak kontropersial di masyarakat.
Karena itu menurut penulis ada beberapa saran yang harus dilakukan untuk efektivitas impelementasi sembilan langkah menuju digjaya Purwakarta tersebut antara lain, Pertama, Niatkan sekuat tenaga dalam diri pimpinan untuk ibadah dan amanah serta menjadi tauladan kebaikan dalam menjalankan tugas dari Allah sebagai Bupati. Kedua, Bupati melakukan dialog aspiratif secara informal, terbuka, tulus dan ikhlas dengan setiap sektor dijajaran birokrasi, legislatif dan masyarakat untuk meghasilkan pemetaan masalah yang sebenarnya, sebab apa yang kita pikirkan belum tentu itu merupakan gambaran utuh dari sebuah realitas. Ketiga, Setelah pemetaan masalahnya pembangunan terlihat dan terukur, segera melakukan reseach secara obyektif, faktual, dan valid oleh tim riset Perguruan Tinggi kredibel untuk menentukan beberapa alternatip solusi dan skala prioritas. Keempat, buatlah komitmen politik dengan legislatif rencana prioritas program pembangunan dan anggaran dalam jangka lima tahun kedepan. Kelima, Penempatan pejabat birokrat bukan karena kedekatan, balas jasa politik, dan duit namun, tempatkan pejabat-pejabat pelaksana teknis yang amanah dan profesional di bidangnya, sehingga ia benart-benar cekatan, gesit dan cerdas dalam menerjemahkan ide-ide besar sang Bupati.Keenam, buka kran partisipasi dan kontrol publik yang kuat terhadap proyek-proyek pembangunan sehingga hasil pengerjaan proyek itu benar-benar berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar