MENGGAGAS TEOLOGI “BARU” PEREMPUAN
(Sebuah Refleksi Sosio-Psikologis)
Oleh : Asep Gunawan, M. Ag.
Discourse[1] tentang perempuan selalu menarik dan sepertinya tidak pernah out of date. Hal ini disebabkan, disamping karena memang perempuan adalah makhluq yang memiliki daya tarik 'luar biasa' untuk dibicarakan - baik dari sudut pandang biologis ataupun sosio-psikologis, juga karena memang kasus-kasus yang berkaitan dengan perempuan memiliki daya pikat ibarat penomena gunung es di lautan. Disinyalir dari kasus-kasus tentang perempuan yang muncul ke permukaan, hanya satu persepuluh yang benar-benar terangkat dan terlihat di permukaan. Sementara sembilan persepuluhnya masih terhalang oleh dalamnya lautan segmentasi kehidupan yang umumnya didominasi oleh laki-laki.
Perlahan tapi pasti, setelah wacana tentang posisi kesetaraan gender banyak diwacanakan, kasus-kasus yang berkaitan dengan perempuan mulai terkuak. Mulai dari kasus pelecehan dan kekerasan seksual, trafiking sampai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang mayoritas korbannya adalah perempuan, sekarang ini silih berganti menghiasi media dan forum-forum diskusi. Umumnya, kasus-kasus tersebut oleh aktifis gender dijadikan titik pemberangkatan (starting point) untuk adanya upaya reposisi perempuan agar bisa lebih memiliki peran dalam seluruh segmentasi kehidupan.
Persepsi dan bahkan keyakinan bahwa posisi perempuan merupakan subordinat laki-laki ditempatkan sebagai faktor utama yang paling kuat untuk terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Persepsi dan keyakinan inilah yang membawa kepada sikap menomor-duakan perempuan. Perempuan adalah makhluq kelas dua yang sengaja diciftakan oleh Tuhan untuk 'melayani' laki-laki. Efeknya, otoritas kekuasaan (power authority) laki-laki atas perempuan begitu besar dan kuat. Relevan dengan apa yang disebutkan oleh Lord Acton, “the power tend to corrupt”, otoritas kekuasaan mutlak laki-laki pada akhirnya banyak mengkorupsi (baca : mendzalimi) hak-hak hidup dan kehidupan perempuan.
Sejarah bangsa-bangsa terdahulu menjadi saksi bagaimana kekuasaan mutlak laki-laki begitu dominan terhadap perempuan, bahkan sampai batas yang sangat mengerikan dari sudut pandang kemanusiaan. Perdagangan perempuan (trafiking), pelecehan dan kekerasan seksual, pembunuhan bayi perempuan dan persembahan gadis untuk upacara-upacara tertentu, merupakan penomena yang sudah lumrah terjadi menyertai perjalanan sejarah peradaban bangsa Babilonia, Persia, Romawi, Yunani, Mesir, Cina dan India.
Pemikiran Mistik dan Teologi
Auguste Comte, peletak dasar sosiologi modern, pernah mengungkapkan bahwa lipatan perkembangan pemikiran manusia mengalir melalui tiga tahapan penting yang akan berakhir pada sebuah kondisi dimana manusia menempatkan logika positivistik sebagai “cagar bahasa” berpikir. Walaupun ada beberapa titik kelemahan dari tesis Comte di atas, misalnya berkaitan dengan masih banyaknya manusia (yang mengaku) modern dan berpikiran positivistik sampai hari ini - ternyata - masih terlibat intensif dengan pemikiran mistik dan teologi; dan juga perdebatan tentang tahapan pemikiran yang mana yang sebenarnya muncul paling awal, tesis ini bagus digunakan untuk memahami konteks sosio-budaya pemikiran dalam lintasan sejarah “pemaknaan” perempuan; sehingga akan lebih mudah dipahami kenapa terjadi “keterpurukan” dalam sejarah kehidupan perempuan.
Dalam konteks ini, salah satu faktor yang dianggap signifikan yang seringkali dijadikan 'kambing hitam' adalah dasar-dasar mistik sebuah kepercayaan dan teologi sebuah agama. Pembunuhan bayi perempuan dan persembahan gadis untuk upacara-upacara tertentu yang pernah (dan bahkan disinyalir sampai saat ini masih) terjadi adalah bentuk nyata dari pengaruh pemikiran mistik. Dalam ranah logika pemikiran mistik, perempuan diposisikan tidak lebih hanya menjadi sumber sekaligus pereda suatu bencana. Ketika terjadi amuk bencana tsunami misalnya, yang terpikir dalam benak para tetua adat dan dukun suatu komunitas masyarakat primitif dahulu adalah sang penguasa laut sedang marah dan karena itu perlu diberikan sesajen (persembahan). Karena dari sejak awal perempuan dianggap sebagai pembawa bencana dan kesialan, maka untuk meredakan amarah sang penguasa laut perlu diadakan upacara penghormatan dengan seorang perempuan (gadis perawan) sebagai sesajinya.
Penafsiran tentang kejadian awal penciftaan manusia pertama yang merujuk pada kisah Adam dan Hawa merupakan titik awal berkembangnya pemikiran mistik tentang relasi laki-laki dan perempuan. Keyakinan bahwa Hawa (perempuan pertama) diciftakan dari tulang rusuk Adam (laki-laki pertama) hingga dijadikan dalil simbolisasi subordinasi perempuan dari laki-laki, juga tidak lebih merupakan keyakinan yang lahir dari rahim pemikiran mistik yang pada kenyataan selanjutnya berpengaruh besar pada pemikiran teologi. Terbukti, sampai hari ini, ada beberapa agama (tepatnya pemikiran keagamaan) yang masih mendasarkan pemikiran teologinya (khususnya tentang perempuan) berdasarkan logika mistik di atas.
Pengaruh pemikiran mistik yang berimbas pada pemikiran teologi ini pada kenyataannya banyak terjadi dalam praktek-praktek keagamaan. Dalam praktek keagamaan agama-agama sebelum Islam datang misalnya, seorang perempuan yang sedang dalam masa haid itu sangat menjijikan sehingga harus benar-benar dijauhkan dari suami dan anak-anaknya. Sementara dalam praktek keagamaan agama lainnya, seorang perempuan yang sedang haid justru tidak mendapatkan penghormatan sama sekali. Sedang dalam masa haid atau tidak, kapan dan dimanapun perempuan memiliki tanggungjawab melayani suaminya.[2]
Tentang “kejatuhan” Adam dari surga akibat rayuan Hawa - yang sebelumnya Hawa juga terjebak oleh rayuan Setan, kurang lebih memiliki dasar logika yang sama. Dari dalil logika ini kemudian muncul pemikiran bahwa perempuan identik dengan “makhluq perayu” dan “pembawa sial”. Dari pemikiran ini akan lahir pemikiran lainnya yang lebih liar lagi, seperti misalnya : “Kalau saja Adam (laki-laki) tidak dirayu oleh Hawa (perempuan) untuk memakan buah khuldi, mungkin saja manusia sekarang ini hidupnya akan enak di surga; tidak akan hidup di bumi yang identik dengan perjuangan keras”.
Efek dari pemikiran-pemikiran di atas, memunculkan pandangan negatif terhadap kaum perempuan. Perempuan dipandang menjadi kaum kelas dua. Stigma ini bukan hanya muncul di kalangan mereka yang terbiasa dengan tradisi pemikiran mistik, tokoh sekaliber Aristoteles yang dielu-elukan memiliki karisma intelektual tersendiri bagi para pemuja logika dan penganut pemikiran positivistik, pernah terjebak pula dalam buaian pemikiran ini. Diantara ungkapan Aristoteles tentang perempuan yang sempat terekam oleh zaman adalah seperti yang dikutip oleh Jalaludin Rahmat (1989 : 24), yang diantaranya Aristoteles menyebutkan bahwa perempuan adalah manusia yang belum selesai, yang tertahan dalam perkembangan tingkat bawah.
Endapan pemikiran mistik tentang relasi perempuan dan laki-laki yang tidak berperspektif gender ini masih melekat kuat dalam pancaran pemikiran teologi beberapa agama, terutama agama yang keterlibatannya dengan budaya (baca : agama non-samawi) sangat kental. Dalam Rig Weda disebutkan : “Tidak boleh menjalin persahabatan dengan perempuan. Sebab, pada kenyataannya, hati perempuan adalah sarang serigala”. Bahkan menurut Kongfuchu, ada dua jenis manusia yang sukar diurus, yaitu : turunan orang rendahan dan perempuan (Jalaludin Rahmat, 1989 : 24).
Sebagai agama yang tidak menafikan keterlibatan budaya manusia (mengingat Islam sholihun likulli makan wa zaman) dalam perumusan produk ijtihadnya, Islam (baca : umat Islam) juga seringkali terlibat dalam pemikiran yang bias gender dalam menyikapi relasi perempuan dan laki-laki. Salah satu faktor penting yang menjadi penyebab utamanya adalah pengadopsian kisah-kisah israilliyat tanpa penyaringan yang ketat dalam penafsiran al-Qur’an. Beberapa mufasir kitab tafsir klasik ketika berbicara tentang kisah-kisah masa lampau dan hal-hal gaib, masih menggantungkan referensi argumentasinya kepada kisah-kisah israilliyat. Sehingga, bukan satu hal yang kebetulan, jika ketika menafsirkan ayat yang berkaitan dengan relasi perempuan dan laki-laki, disadari atau tidak, pengaruh kisah-kisah israilliyat ini sangat begitu kental. Sementara berkaitan dengan kisah-kisah israilliyat ini, Nabi Muhammad hanya memberikan komentar : “Jangan membenarkan dan jangan pula menyalahkan”.
Komentar “tidak saklek” Nabi inilah yang membawa pada implikasi pemahaman di kalangan para mufasir bahwa kisah-kisah israilliyat dianggap masih memberikan manfaat untuk kepentingan penafsiran al-Qur’an. Maka dari itu, tidaklah mengherankan jika beberapa diantara mufasir masih melibatkannya untuk memperkuat logika argumentasi penafsirannya, termasuk dalam penafsirkan ayat yang bermuatan gender.
Pemikiran Teologi Islam
Sebelum Islam datang, status dan peranan perempuan berada di bawah subordinasi laki-laki lebih dari itu perempuan tidak saja dihina, diremehkan tetapi juga ditindas dalam arti selalu mendapatkan tindak kekerasan. Bahkan atas nama kebudayaan, sejak awal kehidupannya penikmatan seks perempuan sengaja direduksi, karena dia dipaksa untuk melakukan proses pemotongan cliotirs atau bahkan bibir kecil vagina : multilasi genital (khitan).
Pada zaman jahiliyyah nasib wanita di Arabia tidak jauh berbeda dengan nasib rekan-rekan mereka di tempat lain. Mereka tidak mendapatkan hak waris, bahkan boleh diwariskan dari ayah seseorang kepada anak-anaknya bila si ayah memiliki istri lebih dari satu. Memiliki wanita dianggap aib, sehingga banyak melakukan pembunuhan atas anak-anak wanita. Dalam tradisi pembagian harta pusaka yang telah diwarisi oleh leluhur mereka terdapat suatu ketentuan utama bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal dunia. Tradisi menganggap bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan adalah sebagai keluarga yang belum atau tidak pantas menjadi ahli waris.[3]
Islam hadir untuk menyelamatkan dan membebaskan kaum perempuan dari kehidupan yang menyiksa. Al-Qur’an mengajarkan kaum laki-laki dan perempuan agar saling menyayangi dan mengasihi (QS. al-Rum 30 : 21). Atas dasar inilah maka setiap pandangan atau asumsi yang menyatakan bahwa Islam merendahkan atau melecehkan perempuan adalah salah besar, karena sifat merendahkan dan melecehkan, atau mencederai apalagi menindas manusia merupakan pelanggaran terhadap hak-hak Tuhan.
Membaca struktur sosial budaya bangsa Arab pada waktu al-Qur’an diturunkan dan pada waktu Nabi Muhammad hadir, wacana dan aturan menyangkut soal-soal perempuan yang disampaikan kedua sumber ini menunjukkan dengan jelas adanya proses-proses transpormasi sosial budaya yang sangat progresif. Umar Ibn al-Khaththab, khalifah kedua, sempat memberikan komentar yang mengesankan keterkejutan ketika membaca teks-teks suci Islam yang transpormatif itu. Ia mengatakan : “Ketika jahiliyah, kami sama sekali tidak pernah memandang penting kaum perempuan. Tetapi ketika Islam datang dan Tuhan menyebut-nyebut mereka, kami baru menyadari bahwa mereka memiliki hak atas kami.”
Mengapa perspektif diskriminatif atau subordinatif terjadi dalam wacana atau pemikiran keagamaan? Ada beberapa kemungkinan jawaban : (1) karena kekeliruan dalam menginterpretasikan bunyi teks secara harfiah, (2) karena cara atau metode penafsiran yang parsial atau tidak utuh, secara sepotong-potong, sebagian atau separo dari keseluruhan teks, (3) karena seringkali didasari dan dikuatkan oleh hadits-hadits (dhoif) atau bahkan hadits-hadits palsu (maudhu) atau kisah israiliyat.
Tiga kemungkinan di atas, pada akhirnya terakumulasi dalam interpretasi dan seringkali kurang memperhatikan sosio-kultural dimana dan kapan firman itu diturunkan, atau disebut juga asbabun nuzul dan asbabul wurud. Salah satu dari sejumlah faktor yang membuat penomena kekerasan terhadap perempuan menjadi kuat dan efektif adalah karena adanya dukungan tradisi atau kultur patriarkhi yang menghegemoni.
[1] Discourse adalah pewacanaan tentang suatu masalah dengan pendekatan logika dan argumentasi keilmuan.
[2] Asbab Nuzul ayat tentang haid adalah kebingungan sebagian wanita muslim berkaitan dengan siklus biologi bulanan yang menimpa mereka, karena berkembangnya dua praktik keagamaan yang berbeda yang dilakukan oleh umat Yahudi dan Nasrani.
[3] Muhammad Husain al-Thabathaba’I, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an (Mu’assasat al-A’lami li al-Mathbu’at, Beirut, t.t.), h. 207.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar